"Tadi kok lo ke ruangan Pak Gatra?" Sisil menoleh terlalu cepat ke arah Nadya, membuat rekan kerjanya itu jadi menyipit curiga."Dan kenapa hari ini Laras nggak masuk?"
Kali ini Sisil mengangkat bahu sebagai respon. "Emang gue emaknya?" dia berusaha acuh tak acuh.
Merasa nggak punya hak jadi juru bicara Laras yang kini sedang terpuruk dalam kesedihan. Laras akhirnya memutuskan untuk memperpanjang cutinya. Dari tiga hari menjadi dua Minggu. Rencananya, dia akan pulang ke Kulonprogo.
Masalahnya memang nggaksesederhana kelihatannya. Laras sangat mencintai Satria. Sudah sejak dulu dia menanti-nantikan momen di mana Satria dan dirinya akhirnya bisa bersama. Tidak lama lagi, Satria akan lulus dari pendidikan pascasarjananya. Setelah itu, menurut cerita Laras, kekasihnya itu akan melamarnya pada orangtuanya di Wates, Kulonprogo. Namun dengan kondisi saat ini, dia bahkan tidak akan berani menampakkan dirinya di hadapan Satria.
Untuk itu, Laras merasa dirinya harus jujur pada Satria tentang keadaannya saat ini. Konsekuensinya memang menyakitkan. Satria sudah pasti tidak akan menerima Laras kembali. Belum lagi kemungkinan apa yang Laras lakukan dengan Pak Gatra menimbulkan satu masalah baru lainnya; kehamilan.
"Lo banyak bengongnya ya hari ini?" Nadya mengamati setiap gerak- gerik Sisil bagai predator yang mengintao mangsa. Gadis itu memang pintar membuat orang merasa tidak nyaman dengan tatapan mengintimidasinya.
Hari ini, Yuna masih ikut bosnya ke Semarang, melihat kondisi gudang mereka di kota tersebur. Meita juga tidak bisa ikut makan siang bareng karena dia diminta untuk mengirimkan sesuatu untuk simpanan terbaru Pak Dharma. Yang tersedia saat ini hanya Nadya. Mau nggak mau, Sisil harus bersabar menghadapi keingintahuan sahabatnya itu.
Nadya yang selalu haus gosip. Nadya yang sangat menyukai sensasi. Memburu skandal yang dilakukan para pegawai di Chronicles Building adalah hal yang menyenangkan baginya. Kebalikannya dari Sisil yang malas kalau diajak menggosipkan tentang hal yang belum tentu kebenarannya.
Fandi dan Brian nongol. Rasa enggan Sisil semakin menjadi-jadi. Meskipun tahu Fandi sedang melancarkan jurus buat menarik perhatian Sisil dengan cara sering nongol di kantin lantai satu, lama-lama membuat perasaan gadis itu jadi kurang nyaman.
"Hai," Fandi menyapa. Tangannya menyugar rambut. "Boleh gabung?"
"Boleh aja," sambut Nadya, mengerling penuh penilaian.
"Berdua aja nih?"
"Kelihatannya gimana?"
Sisil nyaris memutar bola mata. Nadya sih memang suka jual mahal. Lain sama Yuna yang memang sepertinya sudah jadi anggota Independent Women. Bukannya malu- malu tapi mau. Atau berlagak cuek tapi tertarik. Berlagak bodo amat tapi mau.
Tapi selama berada di dekat Sisil, Fandi tidak masalah. Baginya, asal bisa melihat gadis itu dari dekat, ibaratnya sudah membuat hatinya senang. Membayar kerinduannya. Hanya saja yang menjadi objek sasarannya seperti cuek seperti bebek.
Fandi memang pria yang penuh perhitungan. Saat ini posisinya di kantor pengacara tempatnya bekerja, sudah mulai mapan. Dia positif suatu saat akan diangkat menjadi salah satu partner di firma hukum Reksoprobo yang kondang itu . Masa depannya cerah, sehingga dia dengan percaya diri semakin getol untuk mendekati Sisil. Hanya saja terkadang ia merasa kalau Sisil tidak menanggapi positif pendekatan yang dilakukan Fandi.
"Sil, sehat?"
"Alhamdulillah, Mas Fandi." Jawab Sisil sopan.
"Sudah kenal kan? Ini Abrian." Fandi memegang pundak lelaki yang berpostur menjulang sekaligus ramping atletis yang tegak di samping Fandi. Abrian yang biasa dipanggil Brian itu, menyunggingkan sebuah senyum asimetris.

YOU ARE READING
Miss Secretary
ChickLitMenjadi sekretaris seorang Reagan Maximillian Aldrich bukan sesuatu yang mudah. Pria itu kadang nggak berbicara dan membuat Sisilia Renata susah menerjemahkan apa maksudnya. Bagi Reagan Maximillian Aldrich, kebutuhannya sudah terpenuhi dengan adany...