Chapter 5

63.8K 4.8K 88
                                        


Rutinitas jemput Kee sudah jadi makanan sehari- hari bagi Sisil. Telinganya bahkan sudah kebal dengan kebawelan bocah itu. Dia sudah berhenti merasa tersinggung sejak harus sering berurusan dengan bocah tersebut.

Malah segala tingkah ajaib Kee kadang bisa membuat Sisil jadi bisa me- refresh pikirannya. Salah satu hal yang menjadi pikirannya saat ini adalah tentang pria yang akan melamar mamanya.

Dia belum pernah melihat yang namanya Pak Seno. Menurut Tara, mama baru ketemu Pak Seno tahun lalu. Pria itu ternyata adalah kolega bisnis Pakde Nuri, kakak sulung dari mama dan ibu kandung Sisil.

Tentu saja Pakde Nuri mendorong agar mama mau menerima pinangan Pak Seno. Menurutnya, itu adalah kesempatan bagus. Terlebih, buat masa depan Tara yang pasti akan membutuhkan banyak biaya untuk melanjutkan sekolah spesialis yang tentu saja tidak murah. Juga agar ada yang menemani Mama bila Sisil dan Tara kelak menikah, lalu mengikuti suami masing-masing.

Untuk itu, Sisil merasa harus segera berbicara pada Mamanya. Mencari tahu bagaimanakah perasaan beliau tentang lamaran tersebut. Sebab sebenarnya sebagai anak, Sisil hanya ingin Mama bahagia. Maka dari itu dia bekerja keras bagai kuda supaya Mama dan Tara bisa tetap hidup nyaman.

"Sisil, aku mau ke toko buku."

"Apa?"

"CK! Heran aku sama daddy, kenapa bisa- bisanya dia memperkerjakan orang sebodoh kamu."

Seperti biasa, Sisil tidak menanggapi bagian yang itu. "Mau beli buku ya?"

"Kamu pikir di toko buku itu jual payung juga?"

"Ada alat lukis kok di toko buku. Siapa tahu kamu mau belajar melukis. Seperti embah kamu juga itu. " Sisil nggak mau kalah. Nggak banyak yang tahu kalau Bu Deviana itu jago melukis. Dia menyukai warna-warna. Maka dari itu dia mendirikan perusahaan kosmetik. Walau sekarang Kencanawungu Cosmetics sudah dipegang para keponakannya.

"Yah pokoknya, kamu cari toko buku yang paling lengkap ya."

"Sudah telepon Embah belum?"

"Lho gimana? That's your job! Kamu yang harus telepon Embah."

Gadis itu memutar bola matanya. Telat sih kalau mau jengkel sekarang. Soalnya sudah sejak enam bulan yang lalu dia diginiin.

***

"Kamu di mana?"

"Kan jemput Kee, Pak. "

"Jam segini masih di jalan? Sekolah Kee pindah ke Uganda kali ya?"

"Kee minta mampir ke toko buku, Pak." Sisil melempar pandangan ke arah rak buku anak- anak berbahasa Inggris. Namun Kee yang menurut embahnya itu cerdas, menggeleng sekilas sebelum pindah ke rak ensiklopedia.

Sisil baru nemu anak tujuh tahun yang hobinya adalah baca buku ensiklopedia. Biasanya anak umur segitu, hari gini, sibuk main gim di gawai. Tapi bahkan si Kee ini nggak pegang ponsel sendiri. Komputer di rumahnya canggih luar biasa. Internet tanpa limit, tablet, dan semuanya itu hanya untuk satu tujuan; sains.

Sungguh luar biasa anak bosnya ini. Mungkin sebenarnya dia kloningan Einstein. Atau tertukar di rumah sakit pas baru saja lahir. Tapi kalau dilihat-lihat, Bapaknya itu juga cerdas kok.

"Halo, Sisil."

"Eh, iya, Pak."

"Kamu nggak dengar kata- kata saya barusan kan?"

"Iya, emang apa ya, Pak?"

Terdengar bunyi decakan gemas. Pasti bosnya itu frustasi menghadapi sekretaris tukang ngelamun tingkat dewa. "Sudahlah. Nanti saya kirim via WhatsApp. Kamu jaga Kee baik- baik. Jangan sampai dia lecet."

Miss SecretaryWhere stories live. Discover now