Chapter 34

57.7K 4.7K 200
                                        

Sisil menyuap soto Betawi pesanannya. Siang itu, dia ketemuan dengan Meita. Yuna dan Nadya sedang sibuk dengan urusan masing-masing.

"Jadi elo beneran keluar? Resign?" ulang Meita untuk lebih meyakinkan. Sisil mengangguk sebagai jawaban. Tadi pagi dirinya memang mendapatkan pesan via WhatsApp dari Meita yang katanya merasa kesepian.

"Lo sendiri kesepian kenapa? Bukannya dapat banyak tugas dari Pak Dharma?"

"Ih," Meita menyentuh lengan Sisil. "Gue udah muak sama dia tuh, Sil. Semakin hari yang gue hadapin aneh-aneh melulu. Lo tahu nggak, Pak Dharma baru saja putus dari pacarnya yang mbak-mbak selebgram itu. Gara-gara si mbak minta apartemen di Langham. Gila nggak tuh? Zaman sekarang nyari duit tuh kayak gampang  banget nggak sih? Asal punya bodi bagus sama rayuan maut! Semua bisa lo dapat dalam satu kedipan mata!"

"Trus, trus, Si Nyonya gimana?"

"Nyonya kayaknya juga udah tahu deh." Meita cemberut. Dia menyuap nasi ulam Betawi yang dipesannya. Siang itu mereka sengaja makan di warung yang khusus menyajikan masakan Betawi di daerah Kebayoran.

"Lo tahu, nggak? Kemarin gue sampai dipanggil ke Kandhara Hotel. Di restoran dia nanya-nanya soal apa suaminya udah putus sama Shania Jusman. Wah gue kaget dong! Perasaan selama ini gue nggak pernah ngomong apa-apaan gitu. Tapi Si Nyonya tahu aja. "

Sisil tercenung. "Tapi kayaknya elo harus cepet berhenti deh," saran Sisil. "Bahaya buat lo tahu nggak, kalau jadi double agent gitu."

"Itu dia, Sil." Meita tampak kalut. "Gue maunya berhenti. Soalnya ada yang ngancam - ngancam gue. Gue malah maunya ngundurin diri jadi sekretaris Pak Dharma. Kalau bisa gue mau minta lowongan di atas. Atau mungkin gue bisa fokus bantu Oma Martha aja!"

Sisil sudah menandaskan isi mangkuknya. Dulu dia selalu memilih soto sebagai menu makan siang, karena selain harganya yang affordable, dapatnya banyak, juga gampang ditelan. Tapi karena hal itu dia jadi nggak sadar, kalau lama kelamaan setiap makan siang, otomatis dia pasti pesan soto.

Sisil sedang mengelap mulutnya dengan tisu, ketika ponsel dalam tasnya bergetar. Tangannya langsung bergerak menarik resleting, merogoh ke dalamnya. "Siapa?" pertanyaan Meita penuh selidik.

Untuk sesaat lamanya, Sisil merasa gugup. Karena yang meneleponnya saat itu adalah Reagan. "Mmmm... temen."

"Temen? Gue kenal nggak?" kejar Meita dengan alis menukik tajam. "Atau ini temen yang gue enggak kenal?"

Sisil mengembuskan napas lelah. Dia juga terus-terusan menghindari tatapan mata Meita yang semakin bersorot penuh dengan kecurigaan. "Atau gosip itu bener?"

"Gosip apa?"

"Lo jalan sama Reagan?"

"Siapa yang nyebarin gosip itu?"

"Nggak ada. Itu cuma asumsi Nadya sama Yuna aja sih, sebenernya. Tapi dari ekspresi lo sekarang, gue curiga kalau itu benar." Meita memiringkan kepalanya.

Sejak dulu, Sisil selalu tahu, kalau Meita ini sebenarnya punya otak encer. Dia nggak bisa disepelekan begitu saja. Entah apa yang membuat sahabat Sisil itu bersikap seperti orang yang annoying, berpura-pura bego, padahal dia tahu segalanya.

"Jadi bener?"

Sisil mengangguk dengan berat hati. "Tapi..."

"Well, sebenarnya itu hak elo sih." Potong Meita cepat. "Lo mau jalan sama siapa aja asal orang itu mau sama elo dan masih single kayak Reagan, gue sih nggak bakal menghakimi elo. Yang jelas gue mau lo bahagia, Sil."

Sisil tertegun mendengar ucapan bijak Meita barusan. "Gue juga tahu, kalau belakangan Pak Gatra kirim orang ke Wates, kampung halaman Laras. Tapi kayaknya dia nggak nemu Laras di sana. Dan itu yang bikin dia terus uring-uringan belakangan ini."

Miss SecretaryWhere stories live. Discover now