Sisil tiba di rumah Bu Devia tepat pukul lima sore. Laras ia tinggalkan di kosan. Ia titipkan pada Pretty dan Tyas, teman kosnya.Rumah besar itu lengang. Ketika Sisil tiba, ia hanya disambut oleh Mbok Jum yang muncul dengan wajah lega begitu melihat mobil dinas Sisil terparkir di carport. "Wah, terima kasih lho, Mbak Sisil mau datang." Sambut perempuan berusia awal lima puluhan itu.
"Bu Devia sudah lama perginya, Bude?"
"Jam satu tadi. Mendadak kok."
"Oh,"
"Mbak Sisil mau minum apa? Biar Bude buatkan. Yang panas atau yang dingin?"
"Apa ajalah Bude. Nanti kalau haus, aku cari sendiri aja di belakang. Bude Jum istirahat saja. " Sisil bergerak masuk.
Di dalam rumah yang penuh barang antik dan mungkin sebagiannya adalah artefak dari dinasti- dinasti tua di Tiongkok, atau dari Italia. Beberapa juga ada dari Jawa itu, terkadang dia merasa ngeri. Ia pernah membayangkan bahwa di dalam artefak itu ada penunggunya yang akan hidup di malam hari ketika penghuni rumah terlelap.
Sisil sendiri sama sekali tidak berani menyentuh benda- benda tua itu. Dia nggak berminat. Satu-satunya yang membuat Sisil tertarik pada rumah itu adalah taman belakang yang masih asri, juga dapurnya. "Eh, Kee lagi apa, Bude?"
"Biasa Mbak. Di kamar. Palingan baca buku."
Sisil manggut- manggut. Langkahnya langsung menuju kamar di lantai dua yang ditempati Kee.
Ketika mengetuk pintu, Sisil dapat mendengar suara bosan milik penghuni kamar tersebut. "Boleh masuk, Kee?"
Hening. Kemudian terdengar langkah- langkah kaki mendekat. Pintu terbuka, menampakkan ekspresi bosan yang menggemaskan bocah tujuh tahun itu. "Kamu datang," ujarnya datar dan pasti.
Seperti mengucapkan matahari terbit besok pagi. Bukan sebuah pertanyaan. Melainkan pernyataan. Khas Kee.
Sisil hanya bisa mengangguk. "Boleh masuk? Kamu lagi apa sih di dalam? Baca atau main?" tanya Sisil penasaran. Anak ini memangnya nggak bosen ya, ngendon di dalam kamar melulu.
Bocah itu melebarkan daun pintu, bermaksud mempersilahkan Sisil agar masuk. Kee termasuk bocah yang sangat ketat menjaga area pribadinya. Dalam hal ini adalah kamar bocah itu.
Selain Bu Devia, hanya Bude Jum orang di rumah itu yang diperbolehkan Kee mengakses kamar bocah itu. Tidak ada lagi orang lain yang diperkenankan untuk masuk ke dalam kamar yang senantiasa terlihat rapi itu. Tidak ada satu benda yang bergeser sesenti pun dari tempatnya. Letaknya tetap seperti terakhir kali Sisil memasuki kamar ini.
Orang selanjutnya yang mendapatkan keistimewaan itu baru- baru ini adalah Sisil. Dan gadis itu berani taruhan, kalau bahkan bapak si Kee juga tidak pernah melihat isi kamar anaknya sendiri.
Terkadang Sisil heran dengan bagaimana bentuk hubungan ayah dan anak ini. Mereka seperti saling menjauh. Tidak perlu bertemu muka. Ada apa sebenarnya?
Gadis itu kemudian menggeleng. Mengetuk- ngetuk kepalanya sendiri karena pikirannya yang mengembara ke hal- hal yang seharusnya tidak perlu dipikirkannya.
"Sisil?"
"Hmmm? Ya? Kamu butuh apa, Kee?"
"Kamu pasti melamun ya?" hidung mancung bocah itu berkerut curiga. Kemudian ia menggeleng mirip banget sama orang dewasa. "Kenapa orang dewasa selalu menghabiskan waktu mereka dengan banyak melamun? Kan itu tidak produktif sama sekali!" kecamnya.
Sisil membelalakkan matanya. Hmmmh, anak ini! Pedes mulutnya benar- benar milik bapaknya.
***
Kee mengajak Sisil untuk menata ulang rak bukunya yang menjulang. Kamar bocah itu bahkan lebih luas dari kosan Sisil yang terbilang cukup besar untuk ukuran kamar kos. Meskipun ia harus menjejalkan aneka barang- barang, printilan, tetek- bengek yang sebenarnya tak perlu- perlu amat buat disimpan, tempat itu tetap terasa kurang lega. Padahal yang dipilihnya adalah kamar yang paling luas.

YOU ARE READING
Miss Secretary
ChickLitMenjadi sekretaris seorang Reagan Maximillian Aldrich bukan sesuatu yang mudah. Pria itu kadang nggak berbicara dan membuat Sisilia Renata susah menerjemahkan apa maksudnya. Bagi Reagan Maximillian Aldrich, kebutuhannya sudah terpenuhi dengan adany...