Tadinya Sisil sudah hendak izin pulang, karena tubuhnya benar-benar merasa lelah. Lesu. Mungkin ada kaitannya dengan masa kehamilan di awal trimester.
Namun ternyata Marika tidak mengabulkan permintaan Sisil. Perempuan itu malah menyuruh Sisil untuk ikut after party. Padahal demi Tuhan, ketimbang ikut bergabung dengan para model yang menggila itu, lebih baik kalau Sisil segera pulang dan mencium bantalnya. Atau paling tidak bisa bersantai dengan daster yang adem dan longgar sambil nonton Netflix dan makan camilan.
Acara peragaan busana tersebut tergolong sukses. Banyak yang menelepon untuk memesan pakaian-pakaian tersebut. Banyak juga desainer dan kritikus yang memuji karya Marika yang dinilai semakin matang.
Untuk pencapaiannya tersebut, wajar saja bila perempuan itu berpuas diri. Sayangnya, ritual Marika untuk merayakan kesuksesan pagelaran busana tersebut juga harus merepotkan Sisil.
"Lo jangan balik dulu. Siapa tahu nanti gue butuh." Ujar bosnya itu. Sementara Sisil akhirnya hanya bisa keluyuran di ballroom tempat runway tadi, Marika sedang menelepon kekasihnya di backstage.
Sisil sedang duduk di salah satu kursi, ketika dia mendapatkan kejutan itu. Kehadiran Dito dan Nadya yang tidak dia sangka. Tentu saja gadis itu terkejut bukan main.
Malah saking kagetnya, gadis itu melompat bangkit dari kursi. Berniat kabur. Entah untuk apa. Tapi yang jelas, ia terlalu panik. Karena bila ada Dito di sini apalagi ditambah dengan Nadya, pasti ada lainnya juga yang ikut menghadiri acara tersebut.
Satu nama terlintas di benak Sisil. Matanya seketika melebar. Dia buru-buru meninggalkan tempat itu. Malangnya, dia sedang mengandung satu nyawa di rahimnya. Jadi Sisil nggak bisa lari sekencang-kencangnya.
"Woy, mau kemana lo, Sil!" teriak Nadya bar-bar.
"Sisiiiillll!" Dito ikut berseru memanggil Sisil yang berusaha kabur. Nadya serta merta menoleh ke arah rekan sejawatnya itu. Sebab suara Dito melengking banget mirip banci kaleng di Taman Lawang.
Nadya mengernyit jijik. "Suara lo kok mirip banci gitu?"
"Heh!" sergah Dito nggak terima. "Tuh, kita ke sini mau nyariin Sisil. Bukan mau kritik suara gue. Cepat tuh kejar . Keburu anaknya kabur!" Keduanya pun bergegas untuk menyusul Sisil.
Untung gadis itu belum terlalu jauh. Walau sambil ngos-ngosan dan megap-megap kehabisan napas, Nadya berhasil menyambar lengan Sisil. Meski agak kesulitan. Sebab Nadya hanya satu kepala lebih pendek dari Sisil. Meski gadis itu sudah mengenakan heels tujuh sentimeter. "Mau ke mana? Masa ketemu teman lama kabur sih?"
"Gila lo jalan cepet banget."
"Lo kerja sama Marika sekarang?"
Pertanyaan yang bagaikan dilontarkan dengan bazoka itu membuat Sisil memandangi Dito dan Nadya secara bergantian. Lama-lama ia jadi pusing sendiri. "Harusnya kalau ketemu teman itu ya disapa. Bukannya malah kabur. Aneh deh lo!"
"Kalian tadi ... nonton?"
"Iya." Jawab Nadya dan Dito serempak. Kompak banget.
"Berdua doang?"
"Nggak dong." Sambar Nadya. "Tentu sama bos-bos."
Saat itu alarm di kepala Sisil langsung berdering nyaring tanda peringatan. Dia benar-benar nggak siapa ketemu Reagan saat ini. Lagi pula buat apa? Reagan pasti nggak menginkan dirinya lagi. Karena sudah satu bulan lebih, namun pria itu nggak menunjukkan itikad baik untuk menemui Sisil. Atau orangtua Sisil.
Mungkin pria itu sudah kehilangan minat padanya. Sementara asyik tenggelam dalam lamunan, Nadya mengerling ke arah Dito. Dengan sigap, Dito langsung nekat menggelandang lengan Sisil, membawanya ke ballroom tempat diadakannya after party.

YOU ARE READING
Miss Secretary
ChickLitMenjadi sekretaris seorang Reagan Maximillian Aldrich bukan sesuatu yang mudah. Pria itu kadang nggak berbicara dan membuat Sisilia Renata susah menerjemahkan apa maksudnya. Bagi Reagan Maximillian Aldrich, kebutuhannya sudah terpenuhi dengan adany...