Meskipun siang ini makanan sudah tersaji di hadapannya, tinggal makan, namun tetap saja perlakuan Reagan ke Sisil nggak berubah. Pria itu tetap menukikkan alisnya setiap pandangan mata mereka bertemu.Sisil sendiri nggak tahu di mana letak kesalahannya kali ini. Semua perintah pria itu, bahkan yang nggak ada hubungannya dengan pekerjaan pun, telah dia selesaikan tanpa mengeluh.
Sisil sadar dirinya memang dibayar untuk itu. Sisil yakin, dirinya sudah bukan menyandang peran sebagai sekretaris lagi saat ia menyetujui tugas menjemput Kee enam bulan yang lalu.
Sekarang Sisil nggak ubahnya seperti pembantu umum yang kebetulan ngantor di gedung mentereng saja.
"Muka ditekuk gitu? Capek lo? Nih gue bawain donat." Tahu- tahu Dito sudah muncul di depan mejanya, begitu Sisil keluar dari ruangan bos
Tepatnya, pria itu berdiri di hadapan mejanya sambil membawa sekotak donat Krispy Kreme."Makasih ya," ucap Sisil lesu. Kepalanya memang jadi pusing sehabis melihat tampang bos. Entah karena overheat, atau tensinya turun.
Hari ini dia lebih sering di jalan ketimbang di dalam ruangan. Tadi setelah membelikan makan siang si bos, dia langsung cabut menjemput Kee. Belum sempat menelan apapun lagi kecuali air putih dan es krim loli yang dibelinya di minimarket.
"Udah makan tuh. Lo kelihatannya pucet banget. "
"Lo mau ke mana?"
"Balik lah. Ini sudah jam setengah tujuh. Emang lo mau nginep di kantor?" cowok itu geleng- geleng dengan senyum maut andalan yang bikin para anak magang meleleh hatinya.
Sisil memang melihat ransel Dito sudah tersandang di bahunya. "Atau mau nemenin si bos tuh. Doi juga lembur."
"Dih, amit- amit!" seru Sisil spontan.
"Apa yang amit- amit?"
Baik Sisil maupun Dito segera menoleh ke arah sumber suara. Nun di situ, di ambang pintu ruangan, tegaklah Reagan yang muka kusutnya bikin Sisil juga kepingin kabur saat itu juga. " Kamu lupa tutup pintunya," pria itu berkata tajam, sebelum kembali menutup pintu.
Dito dan Sisil cuma saling tatap.
"Kerjaan gue belum kelar." Akhirnya Sisil menjawab. "Gue mesti nyortir email yang masuk hari ini. Jumlahnya seribu lebih."
"Aduh," ujar Dito dengan nada simpati, tapi wajahnya tampak jenaka. "Selamat lembur deh kalau gitu. Gue bilang si Kabul buat bikinin lo susu. Biar sehat!" Dito mengangkat kedua tangannya ke atas. "Fighting, Sista!" Ujarnya dengan cengiran mirip kucing Cheshire.
Sisil menggeleng mengamati rekan sejawatnya itu. Aneh, kok bisa ya Dito tetap waras padahal dia kerja sama orang sinting yang sama, yang juga merupakan bos Sisil.
***
"Gimana perkembangannya, Sil?"
Mendengar pertanyaan tersebut keluar dari bibir anggun Bu Devia, sama halnya seperti mendengar tagihan kartu kredit dari debt collector. Sisil menelan ludah.
Meskipun percakapan itu via telepon saja, tapi tak pelak membuat gadis itu gugup. Sehingga dia memerlukan tempat yang tenang untuk menjawab. Akhirnya dia memutuskan tempat yang tenang itu adalah toilet lobi gedung yang baunya semerbak dan berpotensi bikin pingsan.
"Kemarin itu Malina bilang sambutan Reagan agak dingin. Meskipun tidak nolak. Tapi tetap dingin. At least ada kemajuan. Hari ini rencananya, saya dan Pak James harus menghadiri ulang tahun Arthalia Sandjaja di Mandarin. Pak James katanya nggak mau datang. Nggak sempat katanya. Sebab besok pagi beliaunya harus terbang ke Beijing. Sekarang harus istirahat lebih awal. Pesta-pesta gitu kan kelarnya pasti malem banget. Jadi saya meminta Reagan yang gantikan. Tentu saja dengan Malina . Jadi, tolong kamu bantu supaya acara kencan terselubung ini sukses. "

YOU ARE READING
Miss Secretary
ChickLitMenjadi sekretaris seorang Reagan Maximillian Aldrich bukan sesuatu yang mudah. Pria itu kadang nggak berbicara dan membuat Sisilia Renata susah menerjemahkan apa maksudnya. Bagi Reagan Maximillian Aldrich, kebutuhannya sudah terpenuhi dengan adany...