Chapter 33

60.9K 5.1K 217
                                        

Sisil akhirnya memang menginap di apartemen Reagan, tapi ia tidur di kamar tamu. Sepanjang malam itu dia nggak bisa memejamkan matanya. Efek Reagan terlalu dahsyat merasuki tubuh. Mengaliri darahnya. Bahkan tertanam di setiap sel-sel tubuhnya.

Sisil merasa kali ini dia nggak sekuat kemarin. Sewaktu Reagan masih menjadi atasannya, sangat mudah membenci pria itu. Menghalau perasaan suka karena sikap pria itu yang nggak menyenangkan.

Tapi Reagan yang ia temui semingguan ini begitu berbeda. Dia bukan pemaksa seperti yang dulu Sisil pernah pikirkan. Sisil pikir malam ini Reagan akan memaksanya untuk menjawab lamarannya menggunakan metode kekerasan atau dengan hubungan badan. Akan tetapi yang dilakukan oleh pria itu hanya membujuk Sisil.

Di sela-sela cumbuannya, pria itu masih sempat menawarkan untuk membelikan Sisil makan malam atau membelikan kopi di coffee shop di lantai dua gedung apartemen tersebut.

Sisil lebih memilih untuk minum cokelat hangat ketimbang makan. Karena sejujurnya saat itu dia nggak bisa mengunyah atau menelan sesuatu. Maka dari itu, Reagan mengajaknya turun ke kafe kopi yang beroperasi 24 jam. Alih-alih memesan lewat layanan pesan antar seperti yang Sisil pikirkan. "Anggap saja ini late date."

Sisil sampai geli sendiri mendengarnya. Mimpi apa dia bisa pergi dating sama mantan bosnya? Berasa dirinya sedang dalam salah satu scene film bergenre komedi romantis yang diperankan oleh Julia Roberts. Ah, seandainya saja Reagan mau memanjat tangga demi memohon cintanya seperti yang dilakukan Richard Gere pada Julia Roberts. Tepat di saat yang bersamaan, terdengar lantunan lagu It Must Have Been Love yang dipopulerkan oleh Roxette.

Semua kebetulan ini seperti dibuat-buat. Sisil menatap Reagan lekat-lekat.

Merasa sedang ditatap, Reagan pun mengangkat wajah yang tadinya terpaku pada gawainya. Seperti biasa di manapun berada, pria itu pasti harus selalu mengecek progres pekerjaan. "Kenapa kamu menatapku?"

"Harusnya aku yang nanya gitu, Re. Buat apa semua ini?"

"Seseorang pernah mengatakan padaku, bahwa untuk mendapatkan hati seseorang, di sini, aku harus tahu pasti langkah-langkahnya," tutur pria itu tenang. "Dia bilang perempuan di sini suka diajak berkencan lebih dulu. Ketimbang naik ke atas ranjang lebih dulu."

Sisil nggak tahu, dari mana pria ini mendapatkan preferensi soal dunia perkencanan. Dan mengapa dia mau menurutinya juga? Sisil paham, bahkan tahu bagaimana cara orang barat menentukan apakah mereka punya chemistry dengan seseorang. Yaitu dengan hubungan fisik. Setidaknya begitulah di film-film barat yang dia lihat selama ini.

Akan tetapi sejauh ini yang dilakukan Reagan padanya hanyalah mencium. Atau lebih tepat bila dikatakan sebagai mencuri ciuman dari Sisil. Karena Reagan nggak pernah meminta.

"Jadi ini kencan?" tanya Sisil nggak percaya.

"Yeah. This is our first date." Matanya yang biru dan tajam, menatap Sisil dalam-dalam.

"Kalau boleh tahu, kenapa aku?"

"Karena kamu mudah bagi saya, Sisil. Bukan berarti kamu gampangan. Tapi lebih ke kamu mudah saya handle. Saya tahu kamu. Kee sudah kenal kamu."

"Just it?"

"No, of course not. " Kali ini Reagan mendekatkan wajahnya ke arah Sisil. Membuat gadis itu jadi kembali merasa gugup. "Kamu punya kaki yang sangat bagus. Kamu punya tengkuk yang sangat menggoda. Dan yang terakhir...." Sisil memundurkan tubuhnya. Takut dengan kata-kata yang barusan terlontar begitu lancang dan kurangajarnya dari mulut Reagan yang kemerahan. "Dan karena kamu adalah kamu." Tandas Reagan. Membuat Sisil lagi-lagi kesulitan menelan ludah.

Miss SecretaryWhere stories live. Discover now