Sisil akhirnya mengambil kembali tanaman sukulen yang tadinya sudah duduk manis di kursi belakang mobil Reagan, kemudian ia keluarkan lagi, dan menaruhnya di atas bagasi mobil dinasnya sendiri.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Sisil berdiri di parkiran gedung The Chronicle Building, memandangi pot tanaman itu dengan hati getir. Entah mengapa rasanya ia begitu sedih karena hadiahnya ternyata nggak dipilih. Rasanya hampir seperti dicampakkan pacarnya sendiri.
Memang dia beli tanaman itu bukan pakai duitnya sendiri sih. Melainkan duit bos. Tapi tetap saja, untuk mendapatkan tanaman itu, Sisil harus setengah jam berselancar di internet dulu. Harus balapan dengan orang lain, karena stok terbatas. Tiba- tiba sebutir air mata sudah meluncur jatuh di pipinya.
Malam ini dia berubah jadi seseorang yang bukan dirinya. Biasanya, Sisil akan cuek saja kalau barang yang sudah ia pilih untuk seseorang, pada akhirnya bukan menjadi yang terpilih. Tapi entah mengapa kali ini dia merasa bahwa dirinya benar-benar nggak becus mengerjakan sebuah tugas yang mudah. Gadis itu mengerang frustrasi di sambil menggelosor di atas lantai cor.
Ponsel dalam saku roknya bergetar menginterupsi seremoni kesedihan itu. Alisnya menukik, ketika nomor Tara tertera di layarnya.
Segera ia berjalan dengan cepat ke bagian pintu depan mobil, mengambil tisu dan membersit hidungnya, minum air, lalu ia mengusap layar ponsel. "Halo, Ra? Kenap---"
"Mbak gawat, Mbak! Gawat!"
"Tara gawat kenapa? Ada apa?"
"Mbak Mama, Mbak. Mama jatuh pingsan!"
"Pingsan?" Sisil bertanya seolah nggak mempercayai pendengarannya sendiri.
Mama nggak pernah pingsan. Mama perempuan kuat. Atau paling nggak setahunya dulu begitu. "Pingsan kenapa Tara? Yang jelas kalau ngomong." Panik jelas nggak bisa disembunyikan dari suara Sisil yang menuntut penjelasan dari adiknya.
"Jadi gini ..." Tara kemudian menarik napas sejenak. Sementara Sisil sudah hampir mati karena kehilangan kesabaran. "Taraaaa...."
"Mmmm.... Mama kan ikut artisan gitu Mbak . Arisan tanah gitu katanya. Udah mau dua tahun ini. Setiap nyetor itu kira- kira hampir... hampir ..." Lagi, Tara tergagap. Membuat Sisil mendesah frustrasi. Dia hampir- hampir menjambak rambutnya sendiri. "Tara,"
"Hampir sejuta, Mbak..."
"Tara..."
"Maksudku ya itu. Sejuta sekali setor setiap bulannya." Kali ini suara Tara terdengar terlalu cepat. Mungkin saking gugupnya.
Dan Sisil tidak bisa mencegah dirinya sendiri untuk meloloskan kata- kata bodoh yang paling ia benci itu, "Apa?!"
"Ya itu dia Mbak!" Suara Tara hampir sama- sama frustrasinya. "Nggak ada yang tahu hal ini selain aku. Belakangan ini aku... aku hampir ngajuin cuti kuliah, Mbak."
Tidak ada yang mengejutkan bagi Sisil malam ini, kecuali yang barusan dikatakan adiknya itu. "Cuti kuliah?" ulang Sisil nggak percaya. "Apa maksudnya dengan cuti kuliah itu?"
"Yah, aku nggak tahan lihat mama, Mbak. Belakangan dia pontang- panting cari duit. Ngelesin privat anak SMP. Sampai ikut makelaran tanah pula."
"Apa?" Entah mengapa, dalam beberapa menit semenjak Tara menelepon, Sisil berubah merasa menjadi manusia paling bego, karena mengulang- ulang dialog bodoh dari sinetron- sinetron itu.
Tapi apa yang dia dengar barusan memang patut membuatnya syok berat. Tubuhnya kini bahkan tanpa sadar sudah membungkuk, di lantai beton parkiran gedung kantornya yang hening. Dia nggak tahu lagi harus berbuat apa. Karena menyesal dan menangis meraung-raung saat ini pun sama sekali nggak akan ada gunanya. Nggak akan menghasilkan uang untuk memecahkan masalah tersebut.

KAMU SEDANG MEMBACA
Miss Secretary
ChickLitMenjadi sekretaris seorang Reagan Maximillian Aldrich bukan sesuatu yang mudah. Pria itu kadang nggak berbicara dan membuat Sisilia Renata susah menerjemahkan apa maksudnya. Bagi Reagan Maximillian Aldrich, kebutuhannya sudah terpenuhi dengan adany...