Lv. 45 : Bimbang

395 71 18
                                    

Mingrui berjalan mendekati dua sosok yang terbaring tak sadarkan diri dengan banyak peralatan yang digunakan untuk menopang kehidupan mereka.

Mingrui menggeser kursi hingga itu terletak ditengah-tengah antara dua orang itu dan duduk disana dengan wajah murung.

"Pa, Ma, Rui merindukan kalian." ujarnya. Hanya suara statis dari komputer yang menemaninya, membuat Mingrui mengepalkan tangannya kuat-kuat.

"Pa, Rui harus apa? Bencana ini benar-benar tidak bisa dihentikan..."

"Teman-teman mulai khawatir."

"Begitupun Rui..." Mingrui menghela nafas berat, berusaha menahan air mata yang sudah mulai memupuk di kelopak matanya.

"Pa, ma, Rui harap kalian bisa berhasil. Rui ingin memeluk kalian lagi. Tolong jangan menyerah, apapun yang kalian alami, kami masih menunggu kalian disini..." suaranya mulai bergetar.

Tanpa sadar, air matanya lolos begitu saja. Sepintar apapun dia, seberapa banyak pun orang mengatakan dirinya sangat jenius, Mingrui hanyalah seorang anak remaja yang punya ketakutan.

Ia tidak bisa menangis dihadapan teman-temannya, ia harus berlaga kuat untuk bisa menjadi tempat mereka bersandar, dan mengambil semua tanggung jawab seorang diri.

Tapi sekali lagi, Mingrui hanyalah seorang anak remaja biasa yang takut orang tuanya tak kembali dari misi mereka. Mingrui juga sama seperti yang lain yang ingin orang tuanya tetap lengkap, tapi misi ini terlalu sulit untuk diprediksi.

Dan mereka hanya bisa bergantung pada orang-orang yang sudah masuk kedalam game, sementara Mingrui dan teman-temannya hanya bisa menunggu diluar dengan ketidakpastian apakah mereka bisa keluar atau tidak.

"Pa, Ma, tolong kuatkan Rui..." ujarnya dengan suara serak, tangannya meraih tangan kiri sosok disebelah kiri lalu meraih tangan disebelah kanan.

Ia memegang masing-masing tangan mereka, berharap hal itu bisa membuat mereka bangun lalu memeluknya seperti dimasa lalu. Memberinya kata-kata penyemangat dan pelukan kala dirinya merasa tidak percaya diri dengan apa yang ia lakukan.

Namun, tidak ada yang terjadi.

Dua sosok itu masih dalam kondisi tidak sadarkan diri, sama seperti para korban game Dionysius. Yang bisa tetap hidup karena bantuan dari alat-alat medis dan pantauan mereka.

Mingrui berusaha untuk memasang senyum terbaiknya, seperti yang selalu ia lakukan kala akan berangkat misi pada kedua orang tuanya.

"Pa, ma, mari kita selesaikan misi ini dan hidup bahagia." ujarnya dengan wajah sembab dan suara bergetar.

Setelahnya, remaja itu menghapus air matanya dan mencoba untuk menenangkan diri sebelum melanjutkan tugasnya sebagai peneliti disini. Ia mendekati ranjang sosok yang ia panggil mama, lalu meletakkan tangan sosok itu diatas kepalanya sambil membayangkan elusan sang ibu di hari-hari biasanya.

"Rui akan bekerja lebih keras, agar kita bisa berkumpul lagi, agar mama bisa memeluk Rui lagi." bisiknya.

Setelah merasa cukup tenang, Mingrui keluar. Ia menghela nafas panjang dan menuju ruang kontrol, dimana beberapa temannya pasti sedang ada disana.

Mereka pasti juga tak kalah cemas dengannya, apalagi dengan semua ketidakpastian misi yang tidak jelas ini.

❖❖❖❖

Sementara itu di bungalow Desa Kelahiran Kembali, Haechan memandang keluar jendela. Saat ini ia gelisah, entah apa yang terjadi tiba-tiba saja ia merasa demikian.

Ia bahkan sangat sering memandang keluar sampai membuat Jaemin yang duduk didekatnya kebingungan.

"Haechan, ada apa?" tanya pemuda ras beast itu.

Haechan hanya menggeleng pelan sambil memberi senyum lemah, tapi tangannya yang terus meremat jari-jarinya berkata lain. Jaemin mengernyit melihatnya, ia lalu menggenggam tangan yang ukurannya lebih kecil dari tangannya dan menepuk-nepuk punggung tangannya.

"Jika kau khawatir dengan misi, yakinlah bahwa kita pasti akan berhasil. Apa kau ingat, kita berhasil mengalahkan penjahat paling pintar tiga tahun lalu dan menghentikannya dari menguasai dunia." ujarnya berusaha menghibur.

"Belum lagi, orang-orang yang pandai strategi seperti Johnny Hyung, Taeil Hyung, sepupuku, bahkan ketua-ketua kelompok dari grup yang kita selamatkan tengah membuat rencana besar untuk misi ini. Optimis lah!" sambungnya.

Haechan tersenyum mendengarnya, lalu mengangguk. Mereka lalu kembali terdiam dan mendengarkan diskusi yang lain mengenai rencana selanjutnya.

"... dari latar belakang cerita game ini, kota Akratoforos adalah lokasi utama tujuan kita. Kota ini terletak diantara semua wilayah ras, disini." ujar Hongjoong sambil menunjuk ke tengah-tengah daerah yang diapit oleh empat wilayah besar ras utama.

"Dalam cerita mitologi, Dewa Dionysius juga disebut Akratoforos. Dan di kota ini, ada satu kastil besar berwarna putih bernama Kastil Nisiad. Dan dari penjelasan kalian tadi, aku jadi benar-benar yakin kalau tempat ini adalah inti dari game ini." sambungnya.

"Setahun bermain game ini aku baru tahu ini semua..." gumam Lucas yang menatap kosong ke tengah ruangan, dimana orang-orang pintar tengah berdiskusi.

Kun disebelahnya mengangguk paham, "wajar saja, jika bukan karena misi ini, kita bahkan tidak akan tahu mengenai kota Akrato-apapun itu..."

Lucas mengangguk, sepemikiran dengan pemuda yang berada dekat dengannya.

"––tapi siapa yang akan kita serang, aku tidak tahu." Hongjoong mengakhiri penjelasannya.

"Game ini disebut Dionysius bukan? Tentu saja dia yang akan menjadi boss terakhir dalam game ini, tidak peduli jika ia dalam mitologi adalah dewa yang baik atau bukan. Ini adalah game, semua probabilitas akan menjadi mungkin." sahut Yuta yang tengah mengelap senjatanya dengan santai.

Jeno yang berdiri didekat Hongjoong mengangguk, "untuk dunia bisnis, apapun bidangnya, inovasi dan ide kreatif adalah hal yang sangat dihargai. Bahkan jika kami harus membuat Cinderella menjadi jahat, itu tidak masalah selama ada hal yang menarik dari Cinderella yang jahat ini."

"Misalnya, membuat Cinderella membunuh kedua saudara tirinya, atau mungkin kabur dari rumah saat ayahnya menikah lagi lalu kemudian membalas dendam karena ketidakpuasan pribadi, atau bahkan memotong kaki semua gadis di kerajaan itu agar hanya dirinya yang bisa pergi ke pesta dansa kerajaan dan menikah dengan sang pangeran." sambungnya. "Semuanya mungkin di sini.."

Semuanya langsung menatapnya dengan terkejut, kecuali Yuta, Taeil dan adik kembarnya. Jeno jadi gugup sendiri karena ditatap seperti itu. "A-apa?"

"Aku tidak menyangka kau punya pikiran gelap seperti itu..." ujar Lucas, matanya membulat sempurna.

"Memang ya, frasa jangan menilai buku dari sampulnya itu nyata..." Ten menimpali.

"Jika aku tidak mengenalmu, mungkin aku akan mengira kau seorang psikopat yang berniat membuat skenario pembunuhan seseorang.." Mark ikut berkomentar.

Jeno memutar bola matanya malas, "berada dalam lingkaran bisnis selama beberapa tahun cukup membuatku sadar bahwa dunia ini memiliki warna lain selain hitam dan putih, terkadang memiliki pikiran diluar kebiasaan manusia normal itu berguna untuk hal-hal tertentu."

"Melenyapkan musuh misalnya..." celetuk Johnny dengan wajah datarnya.

Seketika ruang tengah bungalow itu penuh dengan tawa, suasana serius sebelumya lenyap karena perbincangan terakhir mereka.

To be continued

Hai? Ada yang masih nyimpen ini di perpusnya?


Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 17, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Neo City : The Game Is Called DionysusTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang