7. Semangat

4.6K 788 52
                                    

"Vin, serius nih kita nggak bakal lanjut nyerang 23 lagi?"

Gavin yang tengah minum itu menjauhkan botolnya, menyimpan di atas meja lalu menatap Yandra.

"Aris bahkan belum keluar dari RS sampe saat ini," paparnya yang secara tidak langsung mengiyakan pertanyaan Yandra barusan.

"Oke, yang terakhir itu emang parah banget. Tapi cewek itu bukan dari pihak 23, jadi nggak ada alasan kita takut. Waktu itu kebetulan dia lewat dan mungkin kesinggung. Anak 23 masih kumpulan pecundang yang sok punya muka." Yandra mengepalkan tangan dengan penuh emosi.

"Bukan cuma itu alasannya, dari kita banyak yang belum pulih," jelas Gavin, memberikan pengertian.

"Mereka juga sama."

"Tapi salah-salah kita jatohnya malah bunuh diri."

"Gue nggak peduli!" Yandra berseru dengan nada yang meninggi.

"Yan...." Gavin menatap cowok itu.

"Vin, lo juga punya adek cewek. Sebagai kakak mana mungkin gue biarin gitu aja orang yang udah ngelecehin adek gue!" ucap Yandra yang terlihat emosi untuk kesekian kalinya.

"Iya-iya, gue tau, tapi--"

"Kalo lo nggak mau kerahin anak-anak. Gue yang bakal samperin sendiri."

Gavin merapatkan giginya. Meskipun Yandra menyepelekan dengan menyebut pecundang, bukan berarti lawan mereka memang payah. Kalau dihadapi sendirian, sudah jelas Yandra yang akan habis.

"Kita tunggu, seenggaknya sampe Aris keluar RS," putus Gavin mencoba bernegosiasi.

"Vin, coba kalo ada yang pegang-pegang Jola, lo bakal bisa sabar?" Yandra menatap nanar. Setelah berapi-api, Yandra menunjukkan sisi sebagai Kakak laki-laki yang kecewa karrna gagal menjaga adiknya.

"Gue emang egois, nggak mikirin kondisi kalian, tapi it's okay kalo nggak mau bantu. Gue nggak bisa biarin orang yang bikin Tasha nangis lolos gitu aja," papar Yandra lalu kemudian berlalu meninggalkan Gavin.

Gavin memegang kepalanya. Pusing juga. Memang tidak diumumkan secara resmi, tapi Gavin sudah seperti diketuakan di sini. Semua orang bergantung pada keputusannya dan sekarang ia bingung harus memutuskan apa.

Itu cowok yang suka colak-colek pantat cewek punya masalah hidup apa sih? Bikin runyam saja. Gavin potong tangannya kalau bertemu. Brengsek, sialan.

"Gavin!"

Gavin mendengkus kecil. Sudah runyam, malah ada yang menambahkan riak keruh lagi.

"Ternyata emang bener suka nongkrong di warung belakang sekolah ya," ucap Clara seraya duduk pada kursi di seberang Gavin. Dia membawa sebuah kotak yang disodorkan dengan penuh senyum antusias.

"Tara ... gue bawa donat kesukaan lo."

Entah cewek itu kelebihan hormon bahagia atau bagaimana, dia selalu tersenyum padahal Gavin jelas menampilkan wajah muak. Entah terlalu sopan atau tidak bisa membaca situasi.

"Yang suka donat itu Jola," jawab Gavin tanpa minat. Ia mengambil kunci motor di atas meja kemudian memasukkan ke dalam saku seraya bangkit berdiri.

"Eh, mau ke mana?"

"Belajar," jawab Gavin. "Fungsi sekolah buat itu 'kan? Bukan keluyuran ke sekolah orang," ucapnya dengan nada yang mencibir. Tempat tinggalnya dan Clara itu jauh. Begitu pun dengan sekolah mereka. Satu hal yang membuat Clara terlihat minus di mata Gavin, dia itu suka bertindak nekat.

"Tante Gita belum bilang ya, gue pindah sekolah ke sini tau"

Gavin menatap Clara dengan kelopak mata yang melebar.

Pacaran [TAMAT]Where stories live. Discover now