39. Optimis

4K 655 30
                                    

Bella terbangun dengan keringat yang membasahi pelipisnya. Jantungnya berdegup kencang dengan paru-paru yang kewalahan. Bella tidak bisa mengingatnya, ia hanya paham jika itu mimpi buruk yang mengerikan.

Bella melirik ke arah samping. Zara tidur menghadapnya seraya memeluk guling. Wajahnya terlihat tenang dan nyenyak. Hari ini dia pasti sangat kecapekan.

Bella mengusap wajahnya kasar. Rasa kantuknya menguap pergi entah ke mana. Ia pun turun dari ranjang dengan hati-hati, lalu berjalan perlahan meninggalkan kamar itu.

Suasana temaram karena lampu yang dimatikan, Bella menyipit ke segala arah sebelum memutuskan membuka laci di bawah TV. Kata Zara, kunci balkonnya disimpan di sini. Saat mencari, perhatiannya terambil pada kotak rokok lengkap dengan koreknya di sana.

Bella menatap nyalang untuk beberapa saat. Seperti apa pun Zara sekarang, ternyata tidak menghanguskan semua yang ada di masa lalu. Jejak itu ada dan Bella orang yang telah membuatnya. Harusnya Zara hidup lebih baik.

Bella mengambil isi laci itu lalu berjalan ke arah balkon. Angin malam langsung menyambutnya. Menerbangkan rambut Bella beriring dengan suara gemuruhnya, khas ketinggian. Bella duduk di atas kursi kayu lalu mulai menyalakan satu batang rokok. Ia menghisapnya kuat, lalu meniupkan ke udara yang langsung hilang terpecah angin.

"Harusnya gue nggak pernah ajarin mereka ngerokok." Bella menipiskan bibir. Mengukirkan senyum dengan menyedihkan. Dulu Bella menilai ini hal yang biasa, tapi seiring beranjak usia, Bella sadar bahwa sebaiknya dulu dia tidak menunjuk rokok sebagai teman pelarian.

"Atau seharusnya gue nggak ambil mereka." Tangan kiri Bella terlihat mulai mengepal. Membayangkan jika dulu hidupnya hanya lurus-lurus saja. Tidak mengurus anak-anak malang itu, mungkin akhirnya tidak akan seperti ini.

"Seharusnya gue nggak turun ke jalan dan sok bantu ini-itu." Isi kepala Bella semakin berisik. Yang semakin lama semakin membuat pening. Entah bagaimana kalimat-kalimat yang dulu seperti pujian, sekarang malah seperti pisau yang menusuk-nusuk

"Seharusnya gue nggak belajar bela diri," ucapnya lagi dengan sorot mata yang kian kosong.

"Dan seharusnya gue nggak lahir."

Itu bukan bibir Bella yang berucap, tapi suara dalam kepalanya yang berkata dengan kencang di antara riuh kebisingan.
Bella meremas rokok yang masih menyala itu, menjadikan butiran-butiran yang berjatuhan pada atas lantai.

"Otak anjing!" umpatnya. Ia mengangkat kaki kananya. Membuat tangannya bertumpu pada lutut lalu dia mulai menyalakan rokok yang baru. Bella menghisapnya lebih kuat. Garis rahangnya terlihat mengetat. Suara di kepalanya semakin berisik.

Lo monster!

Bella menekan mulutnya begitu gejolak dalam lambungnya tiba-tiba naik. Bella bergegas mendekati sebuah pot lalu menunduk di sana. Ia membuka mulutnya untuk membuang hal yang membuat dadanya serasa dicekik. Suara muntahan menjadi pengiring di malam ini. Seiring suara-suara itu bersorak, rasa mualnya semakin meningkat.

Bella mengerang. Ia memukuli lantai beberapa kali dengan mata yang mulai berair

oOo

Setelah lebih tenang, Bella pun kembali masuk. Awalnya dia hanya menunduk lesu, tapi membelalak begitu mendapati Zara yang berdiri di sana. Dia hanya diam entah sejak kapan, tapi dari rautnya, jelas Zara menyaksikan semuanya.

Pacaran [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang