28. Bimbang

4.1K 700 89
                                    

"Apa yang harus gue lakuin biar pergi dari sini?"

Bella menekan keras otaknya untuk mencari solusi. Saat membuka mata dirinya sudah berada di ruang inap. Gavin yang ada di sampingnya langsung memberondongi Bella dengan pertanyaan sampai dokter saja kalah.

Bella memakai trik yang sama lagi dengan meminta Gavin membelikan sesuatu agar bisa bernapas dan memikirkan jalan keluar. Sayangnya otaknya tetap buntu.

"Lo ngapain pingsan segala sih Mabella? Gini 'kan malah makin susah buat bilang gue nggak serapuh itu." Bella berdecak, ia mengetuk-ngetuk kepalanya.

Melihat Gavin yang berada di sisinya sampai sekarang, Bella tahu keluarganya mengeksploitasi cowok itu berlebih. Bella memang ikut campur dengan keluarga Gavin, tapi dia tidak ingin terjadi untuk sebaliknya. Bella punya tenggat waktunya, sampai tujuannya tercapai, dia tidak akan berhubungan dengan Gavin. Itu tentu akan agak susah jika keluarganya ikut campur.

Bella mengedarkan pandang, menatap ruangan itu tanpa minat. "Serius nih gue sampe harus nginep di sini." Raut Bella semakin cemberut.

"Ah, kenapa harus cepet banget sih." Bella mendesah kecewa begitu mendengar suara derap langkah yang kini sudah dia hafal. Bagi orang normal jangankan menebak siapa pemiliknya, kedengaran pun tidak karena jaraknya yang masih jauh.

Bella membenahi posisinya. Bersandar lemah seperti orang yang sakit dengan tangan terlipat dj atas pangkuan. Ia pun memasang senyum bersiap menyambut cowok itu.

"Sorry, Bell. Lama ya?" ucap Gavin begitu memasuki ruangan. Dirinya tidak sendiri, ada Dhika yang ikut menyembul setelah dirinya.

"Nggak papa." Bella menerima buah-buahan yang tadi ia pesan dengan alasan mulutnya terasa tidak enak.

"Kenapa bisa pingsan, Dek?" tanya Dhika. Ekspresinya cukup rumit. Ada khawatir, ada juga kekagetan.

"Tadi nggak sengaja liat yang kakinya ancur, jadinya kaget."

Dhika memandang Bella. Sorot matanya menunjukkan bahwa dia tidak akan mempercayai kalimat itu. Selain dirinya mengenal seperti apa sang adik, orang yang kaget sampai pingsan, tidak mungkin seenteng itu menyebutkan alasannya.

Dhika melirik Gavin. Cowok itu seperti percaya tidak percaya.

"Udah tau nggak bisa liat luka parah, ngapain diplototin?" Dhika mendekat ia mengusap puncak kepala Bella. Secara tidak langsung dia juga menghalangi Bella dari arah Gavin.

Bella menatap kakaknya itu dengan mata berbinar penuh terima kasih karena membantu kebohongan nya. Dhika memutar bola mata. Pria itu pun beralih menyentuh pergelangan Bella dan memeriksa nadinya. Ia mengangguk-angguk kecil.

"Bella nggak takut darah, tapi belum pernah liat orang terluka parah, kayaknya itu yang bikin dia kaget." Meskipun Dhika banyak kontra dengan Bella selama ini, bukan berarti dirinya akan menjerumuskan adiknya sendiri. Meski sering ribut, Dhika sangat menyayangi Bella

"Ada hal lain lagi Bang yang Bella takutin?"

"Oh Bella--"

"Nggak penting," sela Bella begitu melihat kerlingan mencurigakan pada mata Dhika. Ia tidak akan membiarkan seseorang lagi membuatnya berada di situasi aneh seperti Venni. Jika dulu mereka berusaha menjadikan Bella singa, sekarang mereka malah bersemangat menjadikan Bella kucing lemah. Kadang Bella tidak mengerti dengan maksud pemikiran mereka.

"Bang Dhika bakal temenin Bella di sini?" Bella kembali mengambil topik menghalau Gavin melanjutkan pembahasan itu. Cukup, Bella harus membuat batas dengan Gavin. Bagaimana pun Bella adalah orang yang tengah coba cowok itu temukan.

Pacaran [TAMAT]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora