17. Pertemuan

3.9K 713 42
                                    

"Saya benar-benar minta maaf karena nggak bisa jaga Bella dengan benar Om, Tante, Bang."

Gavin terlihat menunduk penuh rasa bersalah. Apalagi ketiga orang di hadapannya masih setia dengan wajah tidak menyangka lengkap dengan bibir yang sedikit  terbuka.

Gavin merasa sangat buruk, ia sudah melukai harta keluarga ini. Gavin pun sudah pasrah jika pulang dari sini dirinya masuk rumah sakit.

"Eu, ini kejadiannya seperti apa?" Dhika yang lebih dulu pulih dari kekagetannya pun mengeluarkan suara.

"Bella diserang preman. Katanya ada yang bantuin tadi, tapi saya benar-benar minta maaf karena telat hingga akhirnya Bella harus mengalami hal ini."

Venni melirik Bella. Dalam sorot matanya terlukis binar bahagia. Bella sedikit melotot, memberi peringatan agar ibunya tidak terlalu menunjukkan respon yang sangat tidak wajar untuk ibu-ibu pada umumnya itu.

"Kondisi premannya gimana?" tanya Dhika.

"Mereka kabur, tapi saya janji saya bakal nemuin mereka dan kasih balasan setimpal."

Dhika menyentuh bahu Gavin yang membuat cowok itu sedikit terkaget, ia pun mulai menyiapkan diri untuk menjadi samsak Dhika.

"Santai aja, nggak perlu formal kayak gitu," ucap Dhika yang diikuti kekehan.

Kening Gavin berkerut.

"Terus di sisi adek gue ya."

Bibir Gavin terbuka, tidak salah dengar ini?

"Kamu mungkin gagal melindungi Bella, tapi melihat seberapa besar asa kamu terhadap Bella, saya terharu. Semoga kamu bisa terus di sisi Bella ya," jelas Yuda yang kini menampilkan senyuman ramah.

Gavin tidak ingin men-judge keluarga Bella aneh, tapi ini memang aneh 'kan, bre?

"Eu, lo sebaiknya pulang aja, Vin," ucap Bella menengahi situasi yang sudah mulai rancu.

"Makasih ya, udah nganterin gue," tambahnya diikuti senyuman manis.

"Eu, oke. Kalo gitu saya permisi ya Om, Tante, Bang."

"Iya. Hati-hati di jalannya ya, Gavin," Venni melambaikan tangan.

Sebagai penutup, Gavin membungkuk kecil lalu berjalan keluar dengan ditemani Bella.

Bella menunggu di ambang pintu sampai mobil Gavin pergi dari sana. Raut Bella seketika berubah, tatapannya terlihat kesal. Ia menatap keluarganya dengan tangan terlipat.

"Bisa nggak sih, seenggaknya di depan orang senyumnya itu ditahan? Kalian udah mirip psycho tau nggak," protes Bella dengan kesal. Kesabarannya tentang keluarga ini benar-bener diuji.

"Kebahagiaan itu nggak bisa ditutupi. Orang sedih bisa pura-pura bahagia, tapi orang yang bahagia nggak bisa pura-pura sedih," cetus Dhika

"Sayang...." Venni menghampiri Bella lalu memeluk lengan cewek itu.

"Kamu ketemu Gavin di mana? Rumah dia di mana? Satu sekolah sama kamu?"

"Ma, kalo Gavin denger dia pasti merinding."

"Merinding apa? Mama cuma penasaran sama seluk-beluk cowok keren kayak dia."

Bella melirik Venni, tatapannya seolah berkata "Keren dari mananya?"

"Semakin dewasa kamu nanti bakal ngerti, cowok keren itu bukan sekedar muka yang ganteng atau style yang oke, tapi cowok yang nggak nuntut apa-apa dari kamu dan bikin kamu jadi diri kamu sendiri."

Untuk masyarakat negeri yang normal, ucapan Venni sangat benar. Namun, apa perlu Bella perjelas jika di situasi sekarang yang Venni maksud itu tak lain seperti "Cowok keren adalah cowok ya bikin lo dibonyokin orang dan lo juga bonyok."

Pacaran [TAMAT]Where stories live. Discover now