38. Melarikan Diri

3.9K 637 47
                                    

Venni tengah santai membaca majalah seraya ditemani secangkir teh. Bibirnya bersenandung kecil dengan sesekali mengukir senyum saat menemukan hal menarik dari majalah itu. Makan malam sudah siap, semua hal di rumahnya tuntas. Venni hanya sisa menunggu anggota keluarganya pulang.

Suara pintu yang dibuka terdengar. Venni mendongak dan menyunggingkan senyum begitu melihat Bella di sana.

"Baru pulang. Jalan dulu ya sama ...." Venni tidak melanjutkan ucapannya begitu matanya menangkap penampilan Bella lebih teliti. Bella hanya memakai kaus kaki yang kini sudah sangat kotor. Ada bercak darah di tangan kanan yang begitu kontras dengan warna kulit putihnya.

"Gavin mana? Kenapa kamu pulang kayak gini?"
Venni bangkit menghampiri. Ia melihat ke arah luar, tapi tidak menemukan siapa pun di belakang Bella.

Tanpa sepatu, tangan terluka dan raut wajah yang tidak baik. Venni hendak meraih tangan Bella, tapi Bella lebih dulu menariknya.

"Sini tangannya," pinta Venni. Tangan Bella juga kotor. Kuman-kuman bisa masuk pada lukanya jika tidak cepat ditangani.

"Nggak perlu."

"Apanya yang nggak perlu? Tangan kamu harus segera diobatin. Kalau infeksi gimana?"

"Nggak perlu," ulang Bella lagi dengan suara yang berkesan dingin.

"Mama khawatir."

Bella menatap mata Venni. Ia menelisik dalam. "Buat apa Mama khawatir padahal tau banget ini bukan apa-apa buat aku," ucapnya dengan tersenyum pahit.

Bibir Venni sedikit terbuka. "Itu luka, berdarah, harus diobatin."

Bella terkekeh kecil. "Kalo emang peduli kenapa malah cerita masa lalu anaknya ke Gavin?"

Venni tergagap. Dia tertangkap basah. Bella jelas akan kecewa. Venni menghela napas untuk menenangkan situasi terlebih dulu.  "Nanti kita bicara, sekarang obatin dulu luka kamu," bujuk Venni. Karena percuma menyangkal sesuatu di hadapan Bella kini.

Bella mundur selangkah, menghindari Venni yang mencoba meraih tangannya lagi.

"Yang Mama pengen Nabilla Uzza 'kan?" Bella menatap ibunya dengan sorot yang kosong.

"Jadi, sejak kapan Nabilla Uzza perlu perhatian buat luka sekecil ini?" Bola mata Bella terlihat berkilauan beriring air matanya yang mulai membuat genangan di sana.

Venni terlihat kebingungan menjawab pernyataan Bella. Apalagi ketika sorot kekecewaan itu semakin terlihat jelas.

Bella menepuk-nepuk dadanya. "Ini Bella, berapa kali harus aku bilang? Apa ini nggak bisa jadi anak Mama kalo bukan Nabilla Uzza?" Bella

Venni mencoba mendekat lagi meski Bella terus menghindar. "Sayang, bukan begitu maksud Mama.

"Kamu itu putri Mama, nggak ada kekeliruan soal itu. Kamu yang dulu ataupun sekarang, tetap putri Mama yang Mama sayang. Mama dukung semua keinginan kamu selama itu nggak ngerugiin diri kamu sendiri, tapi Mama nggak bisa diem aja ketika kamu bahkan membenci diri kamu sendiri. Mama hanya mengharapkan yang terbaik buat kamu."

Bella mengangkat tangannya. Meminta Venni untuk berhenti bicara. Sekarang dirinya terlalu kecewa.

"Bell ...," panggil Venni begitu Bella melenggang pergi dan mulai menaiki tangga.

"Mama bisa jelasin. Gavin juga nggak ada niat buruk sama kamu. Mama nggak--" Venni tidak melanjutkan kalimatnya begitu mendengar suara pintu yang ditutup dari atas sana.

Venni menunduk. Ia meremas pakaiannya. Bella terlihat sangat kecewa. Padahal Venni hanya ingin menunjukkan bahwa Bella yang dulu itu hebat. Venni ingin Bella berhenti membenci dirinya sendiri. Apa pun yang Bella pilih, Venni tidak akan mempermasalahkan. Venni hanya ingin Bella menerima dirinya sendiri.

Pacaran [TAMAT]Where stories live. Discover now