A-MW. 34

29.8K 1.6K 102
                                    

"Rem Blong, Sebuah Mobil Mewah Menabrak Pembatas Jalan......." melihat berita yang di tampilkan di layar Tv.

"D-dian dan Monic?" Asri menatap sang suami.

Gibran menyadarkan tubuhnya yang terasa berat di kepala sofa. Denyutan nyeri di kepalanya menciptakan ketidaknyamanan yang menusuk.

"Aku akan melihat kondisinya, Mamah jaga Arga, takut-takut dia kumat lagi," ucap Gibran yang langsung bangkit dari tempatnya.

Asri mengangguk.

Setelah beberapa bulan sadar dari koma. Saat itu kondisi mental Arga masih baik-baik saja dan ia masih terus mencari Adeeva dan Alix. Tapi karena tak kunjung ketemu Arga di setiap malam terjerumus dalam tangisan dan amukan emosional. Dalam penderitaannya, Arga sering kali merasakan beban kesalahan terhadap kepergian anak dan istrinya, sehingga terpaksa melampiaskan rasa sakit dengan menyakiti dirinya sendiri.

Di dalam kamar yang diselimuti oleh kegelapan, sebuah siluet pria terlihat meringkuk, memeluk erat sebuah foto yang memuat kenangan indah bersama anak dan istri tercinta. Rasa rindu yang begitu mendalam menciptakan dentuman kekosongan di relung hatinya, sementara kecewa dan marah menyatu dalam aliran emosional yang tidak tergambarkan. Seiring gemuruh perasaan itu, ia merenung, dalam gejolak pikiran yang memutar kenangan-kenangan manis yang seakan-akan masih dapat dicium di udara kamar yang sunyi.

"Pagi, mas suami!"

"Mas, aku udah masak kesukaan kamu loh!"

"Mas, jangan tinggalin aku ya?"

"Ar, aku cinta sama kamu lebih dari apapun."

"Aku ningglin kamu itu gak mungkin, kamu tau sendiri kan secinta apa aku sama kamu?"

Arga meneteskan air matanya ketika mengingat perkataan-perktaan Adeeva. Wanita pembohong! Dia bahkan berkata dengan tegas bahwa tidak akan pergi meninggalkannya, nyatanya Adeeva pergi meninggalkannya bahkan disaat dia sudah sangat mencintainya.

"Sudah dua bulan lebih, Ev, kamu tak kunjung pulang!" desis Arga dengan suara penuh keprihatinan, sementara tangannya meremas dadanya yang terasa terbebani oleh rasa sesak dan nyeri.

"Tolong pulang, Ev. Aku merindukan kalian," Arga kembali menangis.

"Aku mencintai kamu dan anak kita."
__________________

"Kamu masih memikirkannya?"

Adeeva menoleh perlahan. "Pak Beni?" ucapnya, saat melihat Beni yang sudah duduk di hadapannya

Di sudut kafe yang penuh dengan aroma kopi yang menggoda, Beni menegaskan dirinya dengan menggeleng. "Sudah kukatakan, jangan memanggilku Pak!" tegurnya dengan sedikit senyuman. Suaranya meluncur lembut.

"Maaf, saya masih belum terbiasa, Beni!" Ucap Adeeva yang terlihat kaku saat menyebut 'Beni' tanpa embel-embel 'Pak'

Beni tersenyum maklum.

"Eva, bagaimana keadaan kandungan kamu?" Tanya Beni, memecahkan kehingan.

"Kandungan saya baik," balasnya.

Terdiam sesaat hingga Beni melayangkan pertanyaan kembali yang cukup sensitif bagi Adeeva.

"Kamu sudah mengajukan surat perceraian?" Tanya nya.

Adeeva merasa terpukul dan tampak sedih.

"Maaf, saya tidak bermaksud bertanya itu," ucap Beni dengan nada penyesalan, menyadari kesalahannya.

Adeeva melihat ke arah Beni, pria yang selama beberapa bulan terakhir selalu mendekatinya.  "Saya sudah mengajukan surat perceraian, dan surat itu sudah saya kirimkan ke rumah Arga untuk ditandatangani. Namun, yang terjadi malah sebaliknya. Arga membakar surat tersebut dan mengatakan bahwa ia tidak akan pernah menceraikan saya."

Kekecewaan Adeeva tergambar jelas di wajahnya, sementara Beni mencoba meredakan situasi yang terasa semakin rumit.

"Kenapa dia begitu serakah," tangis Adeeva pecah. Arga benar-venar jahat, tetap ingin menikahi Monica tapi tidak ingin melepaskan dirinya.

"Saya bisa membantu kamu, Eva," ucap Beni menatap Adeeva serius.

"Kamu tau sendiri saya lebih memiliki segalanya di bandingkan suami kamu," lanjut Beni.

Adeeva menghapus air matanya pelan lalu melirik jam tangannya. "Sepertinya saya harus pergi menjemput Alix, Beni. Kalau begitu saya pamit," ucap Adeeva yang langsung beranjak berdiri.

"Saya antar," Beni ikut beranjak.

Adeeva mengangguk lalu keduanya pergi untuk menjemput Alix.
_______________________

"PAPAH GILA!" Teriak Arga murka melihat keberadaan Zira. Terlebih Gibran mengatakan jika Zira akan tinggal disini.

"Dia tidak tinggal bersama kamu, dia tinggal sama Papah dan Mamah," balas Gibran.

Meski Zira terlihat takut mendengar teriakan Arga, tapi dia begitu senang bisa melihat sang Ayah.

"Sama aja Pah! Papah ingin Eva semakin membenciku? Dengan adanya dia disini, itu akan semakin membuat Eva sakit!" Arga tampak putus asa.

"Papah terpaksa, ini permintaan terakhir Dian sebelum dia menghembuskan napas terakhirnya. Dian tidak ingin Zira berada di panti asuhan, dia berhak mendapat kebahagian," Gibran menggenggam tangan Zira.

Bahkan setelah Arga berteriak tadi, Zira masih mengembangkan senyumannya. Sesayang itu Zira pada sosok Ayah seperti Arga.

"Ayah," ucap Zira.

"Saya bukan Ayah kamu!" Desis Arga menatap Zira tajam.

"Stop Arga! Sudah cukup kamu dulu menyakiti Alix, jangan mengulangi kesalah yang sama!" Tegas Gibran.

"Papah apa-apaansi? Mamah juga gak setuju yaa!" Asri tiba-tiba menyahut, wanita itu berjalan mendekat.

"Enak saja anak plakor berkeliaran disini, mamah gak mau!" Ucap Asri.

"Kalau begitu Papah tidak perlu mendapat persetujuan kalian," ucap Gibran.

Arga yang memang tidak baik-baik saja memutuskan untuk pergi mengabaikan teriakan Zira yang terus memanggil-manggilnya.
______________________

Aku up🔥

Jangan hujat Zira, dia masih keci🥺

Byee!!

ARGANTARA|•| MENGULANG WAKTU (SELESAI)Where stories live. Discover now