1

59K 2.6K 78
                                    

Seorang lelaki berambut ikal dengan kacamata bulat bertengger di hidung mancungnya, asik mengunyah roti bakar yang ia buat mandiri.

Tangannya tak lupa sibuk membolak-balikkan kertas soal, menghitung deretan angka yang membuat seseorang muntah jika tidak mengerti.

Lelaki itu terperanjat mendengar kursi di sampingnya bergeser. "Hari minggu masih sibuk aja, Kak?"

"Hmm." Zayyan berdehem tak minat. Ia melirik Adiknya yang tersenyum membaca buku bersampul biru laut itu. "Buku apa itu?"

"Novel Love Me More. Nama tokohnya sama seperti kakak, loh!"

Zayyan tersenyum. "Ohh ya?"

"Iya, tapi karakter tidak penting." Kemudian ia berteriak karena Zayyan menarik hidungnya.

Zena mendengus sembari mengusap hidungnya yang ia yakini sudah memerah. "Ceritanya tentang wanita yang jadi rebutan dua orang lelaki obsesi, gila, psikopat, tidak waras, lalu..."

Zayyan mendelik dengan malas. "Selera bacamu buruk sekali."

Zena terbahak. Ia menggeser tubuhnya mendekati Zayyan, menunjukkan nama 'Jayan' yang ada di buku itu. "Lihat ada namamu! Tapi dia ini karakternya tidak penting, sama sepertimu." Kemudian ia berlari kencang menghindari buku tebal yang terbang mengejarnya.

Zayyan mengacungkan jari tengahnya, membalas Zena yang menjulurkan lidah sambil berlari menaiki anak tangga.

Zayyan mengalihkan atensi ketika mendengar suara deru mobil di depan rumahnya. Ia lekas beranjak dari ruang makan menuju kamar. Terlalu malas harus bertemu dua orang tua itu.

Dia anak yang punya orang tua berada, tetapi Zayyan harus mendapatkan beasiswa karena tidak dibiayai orang tuanya. Bukan salah Zayyan jika ia terlahir sebagai anak di luar nikah, bukankah orang tuanya yang harusnya bersalah? Mereka malah melampiasakan dosa itu kepada anak yang tak tahu apa-apa.

"Bedebah." Zayyan membanting pintu kamar, emosinya meluap mengingat itu.

Untungnya, Adiknya itu tidak seperti dia. Zena disayang orang tuanya, dan Zayyan tidak bisa membenci Zena yang mendapatkan kasih sayang. Alasan lelaki itu bertahan di rumah hanya karena Zena.

Zayyan mengusap wajahnya kasar. Ia lelah, harus bekerja sampingan dan juga belajar tanpa henti. Tak jarang hidungnya mimisan terus menerus, tapi Zayyan mengabaikan itu.

Zayyan kembali menulis beberapa rumus di kertas putih polos, mengabaikan nyeri di dadanya, hingga rasa sakit itu tidak terbendung lagi. Zayyan mencoba berdiri, namun kakinya tidak sanggup lagi menopang berat tubuh. Ia terjatuh dari kursi, hingga telinganya menangkap suara Adiknya yang berteriak kencang.

***

Zayyan mengerjapkan mata, menerima cahaya matahari yang menyilaukan. Ia terbangun dan langsung mengambil posisi duduk. Menoleh ke kiri dan kanan, gorden putih mengelilinginya.

"Apa ini? Apa aku sudah di surga? Kukira aku masuk neraka." Kemudian ia terkekeh. "pasti Zena membawaku ke rumah sakit. Tabunganku harus keluar lagi untuk membayar ini." Zayyan bersumpah serapah sambil membetulkan selimutnya menutupi dada.

"Kenapa aku tidak diberi infus? Semahal itu kah?" Zayyan menggerutu. Ia memutuskan beranjak untuk menemui Zena. Tapi sebelum itu, tirai putih di depan wajahnya sudah tersingkap oleh seseorang.

"Jayan! Kau bolos lagi, hah?! Sudah kubilang jangan beralasan sakit terus! Kau hanya mau tidur siang bukan?"

Alis Zayyan terangkat. "Siapa orang ini?" gumamnya yang didengar wanita dengan rambut merah itu.

"Heh!" Ia menarik telinga Zayyan hingga lelaki itu mengaduh. "Jangan bercanda! Ayo kita pulang, ini sudah jam pulang, bahkan sudah lewat 2 jam yang lalu."

Jayan or Zayyan✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang