21

8.2K 610 65
                                    

Seperti sudah menjadi rutinitas harian untuk pergi ke kediaman Jayan. Dengan jubah hitam yang menutup seluruh tubuhnya, lelaki itu mulai merapalkan sebuah mantra.

Sing berbalik, menghadap kasur tempat Jayan berbaring biasanya. Matanya melotot seketika. Lelaki yang ingin ia temui tidak ada di tempat.

"Kau seenaknya sekali masuk ke sini. Memangnya ini kamarmu?"

Lelaki itu menoleh secara cepat ke asal suara. Menemukan Jayan yang berdiri di balkon kamar sambil bersedekap.

Tubuh Jayan terdorong ke belakang hingga menyentuh pagar pembatas. Lelaki itu mendekapnya erat seperti tidak ada hari esok.

"Kakimu ini ada rodanya?" Zayyan heran karena Sing secepat itu berlari ke arahnya.

Sing menangkup belakang kepala Jayan, mengelusnya dengan jari yang bergetar.

"Kapan kau sadar? Apa tidak sakit lagi? Lukamu sudah membaik?"

Zayyan hanya mengangguk. Kewalahan dengan rentetan pertanyaan Sing.

"Tunggu!" Sing bergerak menjauh, membuat Zayyan menaikkan alis keheranan. Lelaki itu menutup hidungnya.

Zayyan refleks menciumi bajunya sendiri. "Walaupun aku tidak mandi, kupastikan aku ini wangi!" Ia menatap Sing sengit. Sedikit tersinggung.

"Tidak, bukan begitu." Sing menggeleng keras. Wajahnya tiba-tiba memerah begitu saja.

"Apa kekuatanmu itu sudah bangkit?"

Zayyan mengangguk cepat. "Ya! Aku sangat senang. Kekuatan cahaya putihku sudah maksimal sekarang."

Zayyan memperhatikan tangannya, tersenyum lebar karena tidak perlu lagi melakukan hal yang memalukan untuk mengobati seseorang.

Setelah ia mendapatkan kesadaran tadi siang, Viscount Lefan langsung memeluknya erat dan berkata bahwa kekuatannya telah bangkit.

"Lihat! Di leherku ada tanda kelopak bunga chamomile." Ia mendekati Sing, memamerkan tanda samar seperti milik Ibunya.

Sing menelan salivanya susah payah. Apakah lelaki di depannya ini tidak paham situasinya sekarang?

"Menjauhlah, Jayan. Kumohon."

Zayyan memicingkan mata menyadari Sing bertingkah aneh. "Apa kau sakit? Telinga dan lehermu merah sekali." Ia ringan tangan menyentuh permukaan kulit Sing.

Lelaki itu tersirap darahnya merasakan jemari lentik yang menjamah. Sing menggeleng, tidak sanggup menahan gejolak di dalam diri.

Zayyan memekik tertahan ketika Sing tiba-tiba mengulum bibirnya. Mengisap bibir manis yang bisa membuatnya memberikan semua yang ia miliki kepada dunia.

Sing mengangkat Jayan layaknya koala, memeluk tubuh bawah lelaki itu agar tidak jatuh. Lidah mereka masih saling beradu, bertukar saliva yang sudah lama didambakan.

Zayyan mendesah di sela ciuman. Ia mengalungkan tangannya ke leher Sing saat lelaki itu mendudukkannya ke pagar pembatas balkon. Angin dingin malam tidak mengubur kehangatan yang meluap.

Zayyan melepas ciuman itu, mengambil oksigen dengan rakus. Sing melabuhkan bibirnya di pucuk hidung Jayan memberi sedikit waktu bernapas, dan kembali menyambar bibir yang sudah membengkak.

Sing meraba masuk ke dalam baju Jayan, mengusap dengan lembut luka yang sudah sembuh namun sepertinya meninggalkan bekas.

Zayyan mendesis pelan merasakan tangan dingin Sing menyentuh kulitnya yang hangat.

Sing memiringkan kepalanya, menjilat cuping telinga lelaki itu hingga suara desahan kembali terdengar.

"Itu geli, hentikan." Zayyan menggigit bibir tak kuasa menahan serangan yang bertubi-tubi.

Jayan or Zayyan✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang