9

15.3K 1.1K 31
                                    

Sing menghela napas dengan jenuh di dalam lemari pakaian Jayan. Ia berakhir di sana karena tiba-tiba saja Viscount Lefan mengetuk pintu kamar itu.

Jayan dengan paniknya menarik Sing dan menyembunyikan lelaki itu ke dalam lemari. Padahal Sing bisa saja langsung menghilang.

Sing menutup mulutnya menahan tawa, teringat wajah lelaki manis itu panik.

"Aku sudah baik-baik saja, Ayah. Tidak perlu memanggil Dokter." Zayyan memaksa senyumnya menutupi kegugupan, sambil sesekali melirik lemari itu.

"Besok kau tidak usah pulang ke akademi. Aku akan bilang ke gurumu."

Zayyan mengangguk. Ia membiarkan Viscount Lefan menempelkan punggung tangannya ke kening Jayan, memeriksa suhu badan.

"Aku merasakan energi besar dari kamarmu, apakah sihirmu mulai meningkat?"

Zayyan tersedak salivanya sendiri. "Ya! Ada peningkatan." Zayyan pura-pura menguap sambil menggosok sedikit matanya supaya pria itu menyadari ia mengantuk.

"Tidurlah. Ayah kira tadi kamu masih pingsan, makanya aku ke sini." Pria itu merasa Jayan sudah lebih baik. Ia tidak ingin membicarakan lagi masalah yang membuat anaknya kehilangan kesadaran. Sepertinya Jayan sudah ingat semuanya, dan itu sudah lebih dari cukup.

Zayyan tersenyum kecil. Untung saja Viscount Lefan mengetuk pintu. Jika tidak, ia sudah dipergoki dalam keadaan berpelukan dengan Sing.

Viscount Lefan meninggalkan kamar, Zayyan lekas mengunci pintu itu.

Segera ia membuka lemari yang dihadiahi senyuman manis Sing.

"Wah, lihat lelaki kecil ini menyembunyikan pria dewasa di lemarinya," ejek Sing. Zayyan kesal setengah mati.

"Kau, pergi dari sini! Jangan sembarangan lagi masuk ke kamarku. Ayahku tadi sudah curiga merasakan energi besar di sini." Zayyan mencak-mencak sambil mendorong Sing menuju balkon kamarnya.

"Aku cukup terkejut Viscount Lefan tidak menaruh curiga berlebih, karena merasakan energi ahli sihir yang bersembunyi di lemari." Sing tertawa ketika Jayan memukul punggungnya.

Sing menahan tubuhnya di depan pagar pembatas balkon itu. Ia memalingkan badan menghadap Jayan.

"Apa yang kau lakukan?"

Zayyan berdecak. "Tentu saja mengusirmu!"

"Kau belum melakukan pembuktian tadi." Sing menunjuk bibirnya.

Wajah Jayan merona, ia dengan tegas menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Tidak mau!"

Sing mengusap pipinya, berlagak ada air mata di sana. Zayyan yang melihatnya ingin muntah.

"Ayolah, kau memangnya mau melihatku pergi dari sini sambil menangis?" Sing memainkan pipi Jayan yang mengembung. Ia melihat Jayan yang memalingkan wajahnya sambil bersedekap.

"Jika aku yang menciummu duluan, sudah kupastikan tidak akan berhenti hingga matahari terbit."

Zayyan melirik, sepertinya lelaki itu tidak bercanda. "Ini namanya pemaksaan."

Sing tersenyum miring. "Ini masih dengan cara yang baik, Jayan. Aku bahkan bisa mengurungmu supaya matamu ini hanya menatapku, mengisi kepalamu dengan hanya namaku saja." Suara rendah Sing membuat Zayyan merinding.

Zayyan menghela napas. Dosa apa yang ia lakukan di kehidupan sebelumnya, hingga bisa terjerat dengan lelaki tidak waras di depannya ini.

Zayyan melangkah, mengikis jarak keduanya. Ia berjingkat sedikit kesusahan menggapai bibir itu. Sing sampai menekuk kakinya.

Jayan or Zayyan✔️Where stories live. Discover now