24

5.5K 506 18
                                    

Sing mengambil dua gelas minuman beralkohol. Niatnya ingin mabuk bersama Jayan di malam yang dingin ini.

Lelaki itu sempat melihat Jayan berjalan ke arah balkon, lalu memutuskan untuk pergi menyusul. Ia mengabaikan tatapan para wanita yang malu-malu mengajaknya berdansa.

"Jayan?" Sing mengedarkan pandangan. Lelaki itu sampai menengok ke bawah, berharap Jayan ada di sana. Walau tak mungkin.

Sing menggertakkan gigi. Gelas itu ia lempar ke arah balkon. Sing sudah kecolongan. Lelaki itu dengan langkah lebar masuk kembali ke dalam kerumunan. Berharap mata tajamnya menangkap sosok Jayan.

Sing beradu pandang dengan Viscount Lefan. Seakan paham apa yang terjadi, pria itu segera keluar dari aula pesta bersama para Ksatria yang berada di belakangnya.

Bahunya bertabrakan dengan seseorang. Lelaki itu menoleh dan melihat Leo menatapnya.

"Di mana Jayan? Apa yang terjadi?" Leo bisa melihat Alis Sing yang berkerut. Ditambah Viscount Lefan yang membawa sebagian Ksatria membuatnya berpikir ada yang tidak beres.

"Lepaskan!" Sing menghentakkan tangan Leo.

Tidak mau kalah, lelaki itu menarik kembali bahu Sing yang ingin pergi untuk menghadapnya. "Jelaskan padaku, brengsek!"

Sing menghela napas. Menarik Leo agar menjauhi kerumunan. "Jayan diculik."

Gelas Leo hampir jatuh dari genggaman. Ia segera berlari ke luar, disusul Sing.

Sebisa mungkin mereka tidak membuat gaduh seisi istana. Sing membiarkan surainya berkibar, lelaki itu melayang di udara. Sekarang ia berada di puncak istana. Berdiri tegap mengeluarkan sihirnya mencari jejak Jayan.

"Ayolah!" Sing menarik napas panjang. Keringat mulai turun membasahi baju. Lelaki itu gelisah karena tidak bisa menemukan jejak Jayan. Sepertinya penculik itu bukan orang biasa.

"Panggil aku, Jayan. Panggil aku." Sing menggigit bibir.

Mata itu menangkap pasukan Ksatria yang dipimpin langsung Viscount Lefan mulai bergerak. Suara kuda memecah keheningan malam.

***

Zayyan terpaksa membuka kelopak mata saat merasakan sakit. Ia terbatuk ketika sesuatu yang keras menghantam perutnya.

Seseorang dengan pakaian hitam berulang kali menendang badannya. Jayan baru menyadari tangan yang terikat ke belakang. Tali tambang melilit tubuhnya agar lurus menempel pada tiang dalam posisi berdiri.

"Hentikan, sialan!" Perutnya nyeri luar biasa. Ia tidak bisa mengenali pelaku di depan karena setengah wajah yang tertutup kain hitam.

Dengan penglihatan yang kabur, Zayyan melihat ada sebanyak sepuluh orang yang berjaga di sekelilingnya.

"Lepaskan! Sebelum Ayahku memotong leher kalian!"

"Aku akan membuat wajah ini hancur lebih dulu sebelum Ayahmu itu ke sini." Dengan tawa yang menggelegar, ia menahan dagu Jayan.

Kepalanya sampai tertoleh ke samping ketika pukulan itu mendarat. Zayyan merasakan perih di bibir. Ia yakin bibirnya robek. Pukulan itu kian menghujami wajahnya sampai terasa cairan yang turun dari hidung.

"Sudah cukup. Dia bisa mati."

"Aku hanya bermain sedikit sebelum menyerahkannya. Lagi pula dia punya kekuatan itu."

Sayup-sayup Zayyan mendengar perbincangan. Walaupun ia punya kekuatan penyembuhan, rasa sakit itu tidak bisa disamarkan. Rasanya tetap menyiksa.

Zayyan batuk darah. Penyembuhannya mulai bekerja. Pria itu terkekeh melihat keajaiban di depan mata. Luka yang ia buat barusan mulai samar.

Seakan Zayyan adalah hiburan, mereka kembali membuat luka di sekujur tubuhnya. Lukanya sudah hilang, namun rasa sakit itu masih ada. Zayyan berharap ia segera di temukan. Kalaupun terlambat, ia ingin di bunuh saja sekarang.

***

Sing memutuskan untuk bergabung bersama pasukan Viscount Lefan. Mereka menunggangi kuda dengan kecepatan penuh.

Satu-satunya tujuan penculik menurut analisis Viscount Lefan ialah, sebuah hutan yang berada di tanah ujung wilayah.

Karena akses keluar masuk di Ibu kota sudah ditutup, juga penggeledahan besar-besaran malam ini, mustahil penculik itu bisa membawa Jayan pergi dengan cepat. Sing tidak lama menyadari hilangnya lelaki itu.

Sing melirik, Leo memacu kudanya juga tak kalah cepat. Ingin sekali Sing mengusir lelaki itu, namun akan menghambat pencarian Jayan jika ia mengajaknya berkelahi sekarang.

Suara panah melesat memecah fokus. Tali kekang kuda ditarik hingga hampir menjatuhkan penunggang. Semua orang sibuk memberikan perlawanan. Obor ditangan masing-masing menjadi sumber penerang harapan.

Sing berdiri di atas kudanya, melihat bagaimana segerombol orang berbaju hitam keluar dari balik semak. Suara gesekan pedang menjadi pengiring gerimis malam yang kian lebat.

Lelaki itu mengangkat tangan, percikan api keluar dari buku jarinya. Sing membakar habis pepohonan tempat para pemanah bersembunyi.

Viscount Lefan terkejut saat pedangnya hampir mengenai musuh, tapi tubuh lawannya di depan sudah meledak. Ia melihat bagaimana Sing membuat manusia itu menjadi segumpal daging yang hancur bertebaran.

Leo merapatkan bibir ketika darah muncrat membasahi wajah. Ia menyekanya, lalu melihat Sing yang kembali menunggangi kuda tanpa membawa penerangan.

Sing harus cepat menemukan Jayan. Ia harus menjadi yang pertama. Otaknya terus memikirkan kondisi lelaki itu hingga kusut.

Kendatipun ia menemukan Jayan di sana tidak bernyawa, Sing akan mengakhiri hidupnya malam ini juga.

***

Entah sudah berapa kali Jayan memohon untuk dibunuh saja. Bibirnya yang kering dan robek membuatnya sulit berbicara. Sebentar lagi tulangnya tersusun kembali, dan para bajingan akan memukulinya lagi.

"Kita harus bergerak sekarang. Orang itu sudah menunggu di tempat yang dijanjikan."

"Baiklah, aku akan memukulinya sedikit lagi sebelum membuka ikatan itu."

Zayyan menunduk, jejak air mata kering di pipinya. Kaki yang patah mulai menunjukkan tanda-tanda penyembuhan. Pria di depan itu tetap memukulinya tanpa bisa menunggu tulangnya tersusun kembali.

Zayyan memejamkan mata. Di tempat gelap itu tiba-tiba saja terlintas kenangannya bersama Sing. Lesung pipi yang menghiasi senyuman manis seakan sudah ditakdirkan hanya untuknya.

Air mata itu jatuh kembali. Zayyan tak bisa mengontrol emosi. Pertama kalinya ia menangis di dunia novel ini.

"Sing ...." Suara itu lebih kecil daripada bisikan semilir angin. Namun, Zayyan tidak akan tahu betapa hebatnya efek itu pada seseorang.

Gubuk kayu tempat penyiksaan itu hancur ditabrak angin yang berputar. Zayyan meringis merasakan serpihan kayu yang menggores kulit wajahnya.

Dalam kesulitan melihat apa yang terjadi, Zayyan tersenyum ketika Sing menghajar membabi buta orang yang telah menyiksanya.

Kepala-kepala menggelinding di bawah kaki Jayan. Sekali tarikan, lilitan tali itu terlepas akhirnya.

Sing menangkap tubuh yang jatuh ke dalam pelukan. Melihat bagaimana pakaian Jayan yang tadinya bersih, kini tergantikan dengan noda merah yang hampir menutupi warna aslinya.

"Maafkan aku terlambat." Sing menggendong tubuh kecil itu. Mengabaikan Viscount Lefan yang baru saja tiba. Ia pergi membawa Jayan entah ke mana.








.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
To be continued......

Jayan or Zayyan✔️Where stories live. Discover now