25

6.8K 541 33
                                    

Leo menyaksikan betapa berantakannya pemandangan di depan mata. Bau anyir darah tak bisa tersamarkan oleh rintikan hujan.

Sing sudah membunuh semua penculik dengan beringas. Membawa pergi Jayan entah ke mana.

"Tuan, bagaimana cara melakukan penyelidikan jika semuanya telah mati?"

Viscount Lefan diam. Pria itu masih mencerna apa yang terjadi. Tubuh yang terpisah beberapa bagian ia injak untuk melangkah mendekati tiang yang diyakini tempat pengikatan anaknya tadi.

Di tali masih ada jejak darah anaknya. Pria itu mencengkram kuat tali tambang hingga menggores telapak tangan.

"Kumpulkan semua senjata mereka. Selidiki dari mana besi itu berasal. Terus lakukan pencarian barang bukti. Bahkan sehelai rambut pun, harus kau bawa."

Ksatria itu menunduk, lekas melaksanakan perintah. Mayat-mayat yang berserakan segera dikumpulkan. Benda apa pun yang mencurigakan segera dibawa.

Viscount Lefan melirik Leo yang berlalu dari sana menunggangi kuda. Pria itu berusaha menenangkan diri karena tidak sempat melihat kondisi anaknya.

Sekarang ia tidak tahu di mana lelaki itu membawa Jayan. "Ayo kita pergi ke kediaman Edmore."

***

Hangat. Zayyan merasa permukaan kulitnya diusap sesuatu yang hangat dan basah. Kelopak matanya berat untuk terangkat. Ia hanya bisa menyadari pergerakan seseorang.

Lengan yang semula hinggap di perut kini berpindah ke sisi tubuh. Seseorang sedang membersihkan badannya. Aroma wewangian membelai penciuman Zayyan.

Lelaki itu baru sadar tubuhnya hanya tertutupi selimut. Ia tidak bisa merasakan kemeja yang menghinggapi kulitnya.

Orang itu kembali memasangkan pakaian dengan lembut. Zayyan bisa merasakan kehati-hatian dari setiap gerakan. Hingga elusan yang ia terima di kening, Zayyan akhirnya membuka mata.

"Sing ...."

Sing ikut berbaring. Mendekap tubuh rapuh yang selalu membuatnya tidak tenang setelah melabuhkan hati.

Dulu Sing tidak memiliki kelemahan apa pun. Ia orang sempurna tanpa celah. Dewa seperti tidak ingin manusia punya kehebatan melebihinya, hingga mengirimkan Jayan untuk menghancurkan tameng kokohnya.

"Maafkan aku, aku terlambat." Sing menghirup kehangatan dari tubuh Jayan. Jemarinya perlahan menyusup surai halus hingga terselip di antara sela jari.

"Kau harus membalas dendamku, baru aku memaafkanmu."

Sing melihat garis bibir tipis tercetak di wajah kecil itu. Ia memajukan wajah untuk mengecup sekilas bibir yang sudah membaik.

"Tentu saja." Sing mengusap garis wajah, membuat Jayan menatapnya.

"Aku takut sekali." Zayyan menggigit bibir. Ia kira sudah tidak akan merasa siksaan seperti itu di dunia ini. Trauma yang ditorehkan Ayahnya kembali menghantui.

Sing meletakkan tangannya di dada Jayan. Mengelus menenangkan. Berharap rasa cemas di dalam dada lelaki itu berhenti.

"Hei, lihat aku." Sing menangkup wajah mungil itu. Terlihat mata Jayan yang memerah. "aku berjanji ini yang terakhir kalinya. Aku akan melindungimu."

"Kau tidak akan terlambat lagi?" Zayyan berkedip. Bulir bening itu lolos membasahi tangan Sing.

Sing tertegun. Pertama kalinya lelaki di depannya ini menunjukkan sisi lemah. "Aku berjanji. Bergantunglah kepadaku, Jayan. Gunakan aku."

Zayyan menggosok pelan pandangannya yang kabur akibat air mata menggenang. Ia mengangguk kecil.

Masih di posisi yang sama, Sing mengeluarkan sebuah kalung berwarna perak, dengan liontin batu ruby yang terkurung dalam jeratan kelopak bunga Chamomile.

Jayan or Zayyan✔️Donde viven las historias. Descúbrelo ahora