19

11.6K 693 59
                                    

Sing menatap gelisah kertas kecil yang sudah lecek di genggaman. Ia bingung, padahal sudah memanipulasi kotak itu dengan sihirnya, tetapi mengapa Jayan mendapat urutan yang tidak sesuai.

Sekarang, bagaimana caranya melindungi lelaki itu. Tadinya Sing berencana untuk menjadi lawan Jayan di arena nanti.

Sing berdecak. Kertas itu sekejap menjadi abu, terbang dibawa angin dan diikuti Sing arahnya hingga mengantarkannya kepada Jayan yang baru saja tiba.

Sing menghampiri, air muka lelaki itu sedikit berbeda dari tadi pagi.

"Kau kenapa?"

Sing tambah curiga karena Jayan tidak berani menatapnya balik. "Kondisimu kurang baik? Kau bisa mengundurkan diri."

"Tidak. Ini hanya gugup biasa." Zayyan menggaruk tengkuknya, Sing memicingkan mata.

"Apa ini?"

Zayyan segera menarik tangan, menyembunyikan di balik badan. Ia ingin sekali menyumpahi Leo karena meninggalkan bekas di tubuhnya, dan sekarang Sing menatapnya lekat meminta penjelasan.

"Ini digigit serangga, aku menggaruknya hingga memerah."

Sing diam, menambah kegelisahan lelaki di depannya saja. Ia mengusap pucuk kepala Jayan, menampilkan senyum manis. "Aku percaya itu."

Sing pergi meninggalkan Jayan yang masih cemas. Bagaimana jika lelaki itu tahu bahwa ia habis bercumbu dengan orang yang ingin membunuhnya. Apakah Sing akan membencinya?

Zayyan memperhatikan Sing yang sedang besiap untuk bertanding. Lelaki itu mengambil busur dan anak panah di atas meja yang telah disiapkan.

Menarik tali busur dengan gagah ke target di depan yang membawa pedang tajam. Mata elang itu seperti menguliti lawannya, membuat mangsa yang tadinya percaya diri menjadi menciut.

Entah mengapa pertandingan ini tidak adil menurut Zayyan. Perbedaan jenis senjata yang dipakai pasti mempengaruhi kepercayaan diri peserta.

Gong besar itu dipukul, Sing yang tadinya membidik lawannya sekarang bergerak menghindari serangan pedang yang mengkilap menyilaukan mata. Ia Memanfaatkan ujung busur yang tajam untuk melawan benda besi yang mengayun ke arahnya.

Zayyan beberapa kali memejamkan mata karena melihat pertarungan yang sengit. Ia bukannya takut Sing terluka, malah takut lawan Sing yang cidera parah.

Sing menahan kuatnya ayunan pedang dengan busurnya. Mendorong dengan kuat hingga lawannya terlempar ke belakang, sampai tubuhnya terseret tanah yang tidak rata.

Lelaki itu mengerang merasakan panas dipunggung, karena rompi kulit yang menggesek keras bebatuan. Sing tak menyia-nyiakan, langsung membidik lengan mangsanya yang tidak terlindung.

Orang-orang bersorak heboh. Panah itu menancap sempurna. Tadinya Sing ingin membidik jantung, tetapi ia bisa didiskualifikasi.

Sing mengangkat tangan dengan bangga. Melirik Jayan yang bertepuk tangan di ujung arena. Ia berjalan mendekati lelaki yang masih bertepuk tangan itu.

"Hebat sekali!" puji Zayyan dengan wajah sumringah. Walaupun sedikit khawatir dengan lawan Sing yang masih berteriak kesakitan.

"Membidik lengannya seperti itu, apa baik-baik saja?"

"Ah, tanganku terpeleset. Kuharap dia baik-baik saja. Nanti aku akan meminta maaf padanya."

Zayyan tersenyum. Sekarang rasa gugup menyerang karena gilirannya akan tiba. Zayyan melirik Pangeran Arthur yang berada di seberang mereka, lelaki itu sedang bersedekap dengan mata yang serius menatap orang-orang yang bertarung sekarang. Entah apa yang dipikirkannya.

Jayan or Zayyan✔️Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu