Prologue

18.5K 1K 104
                                    

[SEBELUMNYA SAYA SEBAGAI AUTHOR CERITA INI MEMOHON MAAF SEBESAR-BESARNYA JIKA TERDAPAT KEKURANGAN-KEKURANGAN DALAM HAL KEPENULISAN, SEPERTI TYPO, DIKSI YANG KURANG TEPAT, DLL. UNTUK CHAPTER 1-10,
MEMANG MASIH BERANTAKAN DAN SEDANG DALAM PROSES REVISI. TERIMA KASIH ATAS PENGERTIANNYA❤️]

———

Mengalah hanyalah milik para pecundang
—Atilla Solana
• • •

"Woy mbak, ngantri dong! Gue udah sejam berdiri di sini, mbak malah enak-enakan nyerobot antrian!" protes seorang cowok berpostur tinggi, dan mengapit kamus saku fisika di sela lengannya.

Tipe cowok baik-baik, kutu buku, dan terlihat cupu.

"Berisik!" bentak si cewek tak kalah galak.

Pandangan si cowok menyelidik ke arah cewek di hadapannya ini dari ujung kaki sampai ujung rambut.  Rambut pirang,  sepatu hitam yang tingginya bukan main, hidung tindikan, celana jeans pendek di atas paha, giwang di telinganya,  dan headphone tergantung di leher.

Cewek Aneh.

Atilla merasakan sesuatu yang aneh dari tatapan remaja pria di hadapannya ini, sampai dirinya menyadari sesuatu. Naluri laki-laki.

"Cih. Harusnya gue tahu. Kalo mau modus, belajar sono yang bener! Dasar otak mes—"

"Eh?" Atilla mengerjap, sedetik setelahnya ia mendapati lawannya sudah berganti tempat di depannya.

"Gue belom selesai ngomong, lo jangan kayak banci, lari dari masalah."

Cowok yang awalnya hendak pergi dari sana lantas membalikkan badan."Emang cewek model lo penting banget ya diladenin?"

Atilla mengerjap beberapa kali, mencoba mencerna lebih dalam ucapan cowok barusan, sejenak ia menatap dengan tatapan ambigu, baru setelah kesadarannya ia dapatkan kembali, air wajahnya seketika berubah.

Tanpa aba-aba, cewek itu melemparkan gelas plastik berisi soda yang isinya belum habis setengah, yang kemudian berakhir membasahi hampir setengah badan cowok yang menurut Atilla memiliki keberanian di atas rata-rata.

"Ups. Sorry. Itu akibatnya kalo berurusan sama 'cewek model gue'." Atilla tersenyum penuh kemenangan.

Aksi dramatis itu menarik perhatian se-antero bioskop.  Belum sempat si cowok melancarkan serangan balik,  dua remaja sebaya ini sudah lebih dulu di tarik oleh petugas keamanan dari barisan antrian tiket.

Permainan selesai.

• • •

Di ruang keamanan...

"Saya nggak salah Pak, cewek ini yang salah. Dia nyerobot antrian!" seru si cowok membela diri.

"Enak aja! Jelas-jelas lo yang nyerobot antrian," elak si cewek.

"Lah, situ oke? Gak usah ngelak deh, jelas-jelas lo yang nyerobot antrian!" protes si cowok tak terima.

Brak!

Petugas kemanan menggebrak meja, membuat kedua remaja yang ada di hadapannya ini tersentak kaget.

"Jadi yang salah sebenernya siapa, sih!? Pusing saya hadapin kalian berdua," keluh si petugas dengan sedikit nada marah.

"Dia, Pak!" seru si cowok dan si cewek secara bersamaan, sembari saling menelunjuk satu sama lain.

Pak Petugas mengernyitkan dahi, menghela napas sejenak, kemudian menggelengkan kepala.

"Ya sudah, kalau tidak ada yang mau mengaku, kalian tunggu di luar. Saya akan mengantarkan kalian pulang, sekalian melaporkan tingkah laku kalian ke orang tua kalian. Awas saja kalau kalian kabur!" titah petugas, dengan nada ancaman di akhir kalimat.

"Tapi pak, nyokap saya nggak lagi di rumah."

"Tidak ada kata tapi. Kalian harus ikut pulang sama saya.  Kalau tidak, saya akan membawa kalian ke kantor polisi, karena sudah buat onar di tempat umum!" ancam petugas, untuk kedua kalinya.

Si cewek mnyedekapkan tangan, memanyunkan bibir, tanda menyerah. Berbeda dengan si cewek, si cowok lebih memilih untuk berkutat dalam rumus saku fisikanya. Ia tahu tak ada gunanya memprotes.

Selang beberapa puluh menit, mereka berdua sudah berada dalam mobil VW Combi berwarna biru tosca yang kelihatan masih baru, walaupun termsasuk dalam deretan merk mobil antik. Entah apa hubungannya petugas keamanan dan mobil antik.

Mobil berhenti di depan sebuah rumah sederhana, dengan cat biru tosca , dan berpekarangan yangan cukup luas. Si cowok turun, diikuti oleh petugas. Sepertinya si petugas benar-benar menepati janjinya.

Di dalam mobil, sendirianlah si cewek dengan penuh rutukan dalam hati. Mimpi apa ia semalam bisa di amankan petugas aneh yang bahkan seragamnya tak dikenakan? Akh! 
Bisakah dalam sehari saja, ia bisa terbebas dari segala kemalangan yang menerpanya?

Penderitaan si cewek lengkap ketika menyadari bahwa si Satpam sialan itu sudah hampir satu jam tidak kembali.

Tepat ketika Atilla hendak turun mengecek apakah gerangan yang terjadi di sana, dilihatnya satpam itu sudah melangkah ke arah mobil. Niatnya untuk turun dan melabrak satpam seketika urung.

"Mending simpan tenaga buat hal yang lebih bangsat setelah ini," ujarnya.

• • •

Sesampainya di rumah, cewek malang ini duduk bergeming di ruang tamu, dengan rasa kesal yang menyeruak hampir ke permukaan, menambah rasa kantuknya.

Bagaimana tidak? Kekesalan yang disebabkan insiden memalukan yang baru saja dialaminya tari belum berkurang barang sedikitpun, kini justru semakin bertambah naik sampai ke ubun-ubun karena dirinya harus menahan kantuk.

Ditambah sekarang ia harus merasakan telinganya panas akibat ibunya, Aline, tak henti-hentinya menyerocos sekaligus mengucapkan keluh kesahnya dalam menghadapi perilaku putri bungsunya itu.

Mendengar ibunya tiba-tiba berhenti bicara, Atilla akhirnya bangkit dari duduknya.

"Udah ngomongnya? Capek gue dengerin lo ngomong!" ketus Atilla, kemudiaan menyelonong pergi dari hadapan wanita yang baginya tak lagi pantas ia panggil dengan sebutan 'Ibu'.

Aline mengulang kalimat anaknya, sebelum ia menyadari bahwa baru saja putrinya menyebutnya dengan kata "lo", seakan-akan dirinya adalah sosok yang sedikitpun tak pantas dihargai sebagai orang tua.

Tanpa sadar, air mata sudah mengambang di pelupuk matanya, kemudian merembes jatuh perlahan di pipinya.

Dan percaya atau tidak, Aline sudah terbiasa diperlakukan seperti ini.

• • •
Voment ya! Aku juga mau jelasin dulu di sini sebelum kalian bingung sama Author Note beberapa chapter ke depan. Jadi, judul cerita ini sebelum revisi adalah Painful Things Called Wound (PTCW) sebelum akhirnya kuganti dengan judul seperti sekarang: Cephalotus

Selebihnya, selamat melanjutkan bacaan, ya!

CephalotusWhere stories live. Discover now