Chapter 9

42.1K 1.8K 36
                                    

SUASANA rumah Lovita dan Angga kini menjadi sangat berantakan, bunyi hentakan kaki, suara roda dari koper di seret, dan lain-lain. Kini rumah itu hampir tidak terisi, rumah yang banyak sekali kenangan bagi Anna. Dari saat masa kecil nya yang sering berantem dengan Drico, teriak-teriak minta susu, tertawa bersama dengan sang Ibunda, Ayah, dan juga Drico, sampai saat sedih dan susah semua kenangan berada di rumah bercat abu-abu tersebut.

Sedari tadi Anna hanya bisa mendengus, bergerutu, menangis tiba-tiba karena kini rumah penuh kenangan tersebut akan di tempati lain orang. Yang buat Anna sedih lagi kedua orang tua nya akan tinggal jauh dari dirinya, oh Tuhan Anna tak bisa lagi mengadu bila Drico usil pada nya, ia tak bisa lagi menangis di dada sang Ayah saat ada yang menyakiti nya, tak ada lagi yang bisa sabar mendengar ocehan dari mulut Anna yang kadang suka laknat.

Anna belum bisa membahagiai kedua orang tuanya, tapi setidaknya dari ia menerima perjodohan ini membuat kedua orang tuanya bisa menghela tanpa beban karena Anna menikah dengan lelaki yang mapan dan akan menjadi masa depan Anna yang baik. Anna menghapus air matanya, menatap Lovita yang tengah menutup tempat makan. Lovita berjalan ke arah Anna, memberikan tempat makan tersebut. "Nih, sayang. Makanan buatan Bunda yang terakhir, kan nanti Bunda jauh dari Anna,"

Anna mengerucutkan bibir nya, merengkuh tubuh Lovita dengan erat. Ia belum ingin di tinggal oleh Lovita. "Aaahh, Bundaa! Ngapain sih pergi, kan masih ada Anna sama Bang Drico. Bunda nggak sayang ya sama Anna? Kalo Anna di sakitin Cameron laknat gimana?"

Lovita tersenyum sambil menghelus rambut lebat Anna. "Ah kamu kayak anak kecil aja, kan Ayah ada perlu di sana. Lagi juga dokter Ayah di sana, Na," Ucap nya memberi tau kepada Anna kesekian kali nya.

"Suruh pindah dokter nya napa, Bun!" Rengek nya lagi seakan bocah berumur empat tahun.

"Waah, kan yang butuh si Ayah, udah ah. Bunda udah mau terlambat," Lovita melepaskan pelukan Anna.

Drico menjitak kepala Anna tiba-tiba membuat Anna menoleh kaget. "Ih apaan sih, Bang!" Pekik Anna kesal.

"Elu bacot banget sih? Biar aja kenapa Bunda sama Ayah, udah gede juga," Omel nya, malah sudah berkacak pinggang disana seperti Ibu tengah memarahi anak nya yang susah di atur.

Anna membulat mata pada Drico. "Tuuh kan, Bun, Bang Drico tuh masih jahat sama Anna, Bun! Dia kejam, masa Bunda tega tinggalin Anna sama dia?" Tunjuk Anna pada sang Abang yang tengah menatap Anna dengan alis menaik.

Angga pun kini sudah berada di sebelah Lovita dengan lengan yang melengkung di pinggang pinggang milik Lovita. "Anna kan bisa vidio call sama kita? Zaman udah canggih kan, Nak?" Ucap Angga tegas.

"Ya emang Ayah bisa geplak pala Abang kalo di vidio call?"

"Kan ada gue yang bisa geplak," Sontak Anna menoleh ke asal suara. Itu Cameron yang dengan bangga nya ia menaruh lengan nya di dada. Anna mendelik. "Nyali lo kan dikit, Cam. Menang di mulut doang,"

"Udah ah, kalian ini. Ayo berangkat tiga jam lagi nih, belum kena macet di tol," Ucap Angga dengan tegas.

Barang-barang di rumah itu di pindahan ke apartment yang di beli Anna, Drico dan Cameron bila kedua orang tua Anna ingin menginap atau ada hal dadakan yang harus balik ke Indonesia. Biar tidak repot mereka menyewa penginapan ataupun ke rumah Anna dan Drico. Di apartment sudah ada Kalvi, om Anna dan Drico yang menata barang-barang di apartemen itu, dan juga mengawasi barang yang di pindahkan, jadi Lovita dan Angga hanya tinggal pergi meninggalkan Indonesia.

Pukul 16.33

Mereka sampai di airport, malah Lovita dan Angga sudah menyeret koper mereka sambil berlari-lari karena pesawat akan terbang sepuluh menit lagi. Lovita memeluk tubuh Anna, mengecup puncak kepala Anna. "Baik-baik, ya, sayang. Nurut sama suamimu, jangan lupa baby nya Bunda tunggu loh sama Ayah di sana. Oke? Kabarin ya, sayang. Nanti Bunda sama Ayah usahain ke Indonesia kapan-kapan," Ucap Lovita.

Married EnemyWhere stories live. Discover now