Chapter 18

35.8K 1.4K 32
                                    

ANNA duduk di taman belakang rumah Drico yang di buat untuk tempat bermain anak-anak nya kelak. Gadis itu duduk di ayunan dengan murung. Ia sungguh belum terima dengan celotehan Drico barusan. Angin malam di sana tampak agak kencang menusuk tulang-tulang Anna membuat gadis itu meringis kedinginan. Tetapi rasanya nyaman, ia butuh kesunyian sekarang. Otak nya sudah cukup di penuhi banyak celotehan dan kejadian pahit.

Coba saja ada Shenna, ia akan memeluk sahabat nya itu dengan kencang. Ia akan kembali tersenyum karena ocehan Shenna yang bawel. Tapi sungguh miris, Shenna benar-benar jauh sekarang. Entah kapan mereka akan kembali akur, tapi untuk sekarang bukanlah hal yang tepat.

Mungkin benar, Anna butuh pelampiasaan. Tapi ia tak mau menjilat omongan sendiri. Ia juga tak mau terlalu di paksakan yang hasil nya nanti ia kembali dengan kenangan pahit itu. Satu sisi, terlalu berat untuk Anna lakukan sendiri.

Anna menendang batu kecil di bawah nya. Ia menghela kasar. "Sampe kapan, ya," gumam nya pelan.

Kenapa Tuhan memberikan ini semua pada dirinya? Ini bukan lah hal yang gampang bagi Anna, ini sulit sekali. Ia butuh seseorang yang membuat semuanya terasa ringan, tapi kedua orang itu sudahlah jauh di pegangan Anna. Mereka sudah menyakiti hati nya dalam. Menyesuaikan diri dengan hal yang baru adalah proses yang panjang.

Suara decitan pintu terdengar. Di sana tampak lelaki tinggi yang lebih tua dari Anna berjalan ke arah nya. Ia menatap Anna miris, kemudian duduk di sebelah Anna. Tangan nya terulur menghelus lembut kepala gadis di sebelah nya. "Anna, maaf kesan gue memaksakan sekali," ujar nya parau.

Anna diam. "Gue ngerti, Na, ngerti. Tapi satu sisi lo harus melawan rasa itu. Tau gak? Semua orang itu harus egois, Na. Seseorang harus egois memang, kalau egois adalah hal yang gampang kita harus egois. Lo gak bisa gini terus," ujar Drico.

"Kalau lo gak bisa egois, ya lo gak akan mendapatkan hal yang indah."

"Bang, gue butuh mencerna semua ucapan lo dari makan siang. Lo bisa diam dulu?" Pinta Anna.

Drico diam. Sekali lagi, ia sangat mengerti keadaan adik nya itu. Anna tidak pantas mendapat alur seberat ini. "Gue sayang sama lo, Dek. Dari kecil gue jaga lo banget, di saat lo jatuh aja dengan luka yang kecil, gue udah jambak rambut gue sampai rontok. Kenapa gue lakuin itu? Karena gue merasa bahwa gue bukan Abang yang berhasil untuk menjaga lo. Apalagi melihat lo seperti ini, sedih rasa nya. Kalo aja rasa egois bisa gue ambil,

gue akan meninggalkan Liam dan Syira untuk memeluk lo, menjaga lo, di samping lo untuk memberikan semangat dan pelukan. Tapi gue gak bisa, gue sudah punya istri yang hebat dan juga Liam, apalagi Syira lagi hamil anak pertama kita. Senang rasa nya beberapa bulan lagi gue benar-benar menimang-nimang anak gue dari benih gue sendiri, tapi liat lo seperti ini buat gue sedih. Seketika rasa senang itu hilang begitu aja,"

Anna tersenyum. Dia masih diam. "Anna, sekarang lo terlalu jauh dari gapaian gue. Gue gak bisa selalu di sebelah lo dan memeluk lo. Tapi, ada satu lelaki yang benar-benar akan bisa menjaga lo benar-benar. Yang lo butuhkan adalah membuka hati, gampang kok kalau lo benar-benar ingin melepaskan yang lalu,"

"Bang, Cam juga masih masa melepaskan. Kita sama-sama berusaha,"

"Tapi, Cameron berusaha melepaskan nya dengan memperlakukan lo seperti kekasih. Berbeda sama lo yang hanya menerima nya seperti angin berlalu. Lo cerita sendiri lo terima Cameron jadi teman hidup nya, tapi lo aja masih mengenang masa lalu. Apa 'teman hidup' itu akan berhasil? Tidak!"

"Tapi Bang--"

Drico menutup mulut Anna. Tak lama terdengar suara berat dari dalam rumah Drico. Suara berat itu mampu membuat sosok Drico tersenyum penuh kemenangan. Sementara Anna masih terpaku dengan ucapan itu. "Anna? Istri gue yang ucul, semok dan bohay ... dimanakah dirimu?"

Married EnemyWhere stories live. Discover now