PENGUMUMAN 1

27 1 0
                                    

Pengumuman tiba dalam jarak 1 bulan penuh sampai puasa Ramadhan sudah menuju pada hari ke-15. Tak pernah aku lupakan shalat tahajjud di sepertiga malam. Tak pernah berhenti berdo’a setelah adzan berkumandang. Semakin hari, semakin tak yakin dengan kelulusan test ini. Entahlah rasanya seperti salah dalam memahami. Bagaimana bisa aku percaya diri untuk bisa lolos sedangkan aku tidak percaya dengan takdir Nya suatu hari nanti. Kalang kabut karena saat itu aku kebingungan apakah harus mengikuti ujian mandiri atau tidak. Sebenarnya aku sudah diterima di salah satu perguruan tinggi negeri diploma 3 di jurusan yang aku senangi. Sudah bayar semesteran pula. Tapi aku masih ragu karena letak kampus yang sangat jauh dan mengharuskan aku untuk kost di kota itu. Dan aku pun masih ragu ketika lulus D3 nanti, karena mahasiswa disana akan langsung disalurkan pekerjaan di beberapa wilayah. Ayah yang ragu soal itu. Ayah tidak ingin anak perempuan nya jauh-jauh hanya untuk bekerja mencari uang. Ayah hanya ingin anaknya sekolah setinggi mungkin agar bisa mencerdaskan generasi kedepan nya. Ya. Calon ibu yang sigap. Calon ibu yang cerdas.
Aku berdo’a untuk minta dilapangkan bagaimanapun jawabannya. Walaupun harapan ku sangat besar untuk diterima. Aku sadar mengenai takdir Allah. Aku hanya ingin Allah saja yang memutuskan. Toh aku juga sudah berikhtiar dan meminta. Jadi biarkan Allah saja lah yang menentukan. Aku yakin itulah yang terbaik. Jika di terima Alhamdulillah. Jika tidak, maka aku meminta Allah untuk melapangkan hati ku. Menyadarkan ku bahwa ini bukan harapan yang patah. Hanyalah rezeki Allah yang tertunda. Hati ku penuh damai saat itu. Tidak gundah dan hampa lagi. Hati ku penuh harapan dengan takdir Allah.
Hingga pengumuman tiba pukul 14.00 siang, dimana terik matahari begitu menyilaukan. Ayah, Mama dan Kakak ada di rumah saat itu. Membuka situs web yang loading nya sangat lama. Ribuan orang sedang membuka web yang sama. Jadi aku menunda nya hingga pukul 15.00, grup ramai berita teman-teman yang lolos tahap SBMPTN. Aku yang semakin deg-deg-an akhirnya perlahan mengetik username dan password untuk melihat hasil pengumuman. Disana tertulis sesuatu yang tak bisa ku ungkapkan. Tulisan nya tak bisa ku baca dengan jelas, dan sampai sekarang pun aku tidak ingat bagaimana kalimatnya. Yang aku ingat hanya tulisan yang berwarna merah. Aku…kembali gagal meraih mimpi.
Ayah : “gimana?udah liat belum?” tanya Ayah. Ekspresi ku sendu. Kemudian Ayah melanjutkan…
Ayah : “gak lolos ya?”
Aku : “enggak” air mata tiba-tiba saja menggenang di bola mata ku. Ayah menatap ku dan berkata…
Ayah : “ya emang susah soalnya…emang takdirnya di D3 dek.”
Aku pergi ke kamar, menenangkan perasaan sebentar. Mama yang sedang masak menyiapkan untuk buka puasa, langsung merespon saat mendengar dari cerita Ayah kalau aku tidak lolos…
Mama : “ke swasta aja Dek…yang deket…di jurusan yang kamu mau…”

Mendengarnya, terasa dicabik-cabik. Kenapa Mama bisa berbicara seperti itu, dimana ia tau bahwa aku sangat ingin masuk Perguruan Tinggi Negeri?  Kenapa seakan-akan Mama mematahkan semangatku yang masih sangat berkobar untuk tetap mengikuti test jalur lain di PerguruanTinggi Negeri? Aku menangis sesegukan meminta dilapangkan oleh Nya. Meminta diberi kesempatan untuk bisa masuk PTN. Bagaimana kisahnya aku seorang mahasiswi yang selalu mendapat peringkat 1 se-masa SMA, malah harus duduk di bangku Perguruan Tinggi Swasta? Tidak mungkin. Aku meminta kepada Allah agar Allah menenangkan hatiku. Malamnya, hati ku membaik. Aku ikhlas atas pilihan Allah. Namun obsesi ku mengenai PTN tetap berkobar hingga akhirnya aku memutuskan untuk tetap ikut Ujian Mandiri di kampus ternama di suatu kota. Kampus yang selalu ku usahakan mulai dari Jalur SNMPTN, SBMPTN dan sekarang Ujian Mandiri nya.
Berdiskusi dengan Ayah, dan Ayah mengiyakan. Kata Ayah, semua terserah kepada ku. Aku mulai mendaftar secara online, dan transfer uang ke bank. Semua berkas kulakukan sendiri. Ayah hanya bertugas memberikan uang saja. Mama mengizinkan yang penting tidak terlalu jauh kampusnya. 2 minggu menjelang test, aku sibuk belajar sana-sini. Search berbagai soal Ujian Mandiri kampus itu dari tahun-tahun sebelumnya. Kupelajari hingga detail. Aku tidak ingin menyia-nyiakan waktuku. Ini kesempatan terakhirku.
Pilihan pertama jurusan yang kupilih tetap sama. Psikologi. Pilihan kedua, Pendidikan Ekonomi. Sangat bertabrakan. Tetapi sudah terlanjur mendaftar. Aku hanya yakin lolos dipilihan pertama. Jurusan impian ku. Sisanya jika memang lolos dipilihan ke dua, akan ada konsentrasi yang dimana prodi tersebut tak penuh dengan hitung-hitungan. Simple. Yang penting PTN. Obsesi ku terus membesar hingga tak tau seberapa besar ukurannya. PTN bagiku adalah kehormatan. Malu jika aku tidak lolos PTN apalagi duduk di kursi PTS. Aku bahkan tak apa menjalani jurusan baru asal PTN lah yang ku dapatkan.
Belajar segiat mungkin, sampai tiba waktunya test. Tepat di hari Sabtu, jam 6 pagi aku berangkat diantar Ayah ke rumah teman ku. Kali ini, hanya berdua yang mengikuti test Ujian Mandiri. Aku berangkat bersama teman ku juga kedua orang tuanya. Kami sampai pada pukul 08.00. Ujian akan berlangsung pada pukul 10 pagi. Saat itu aku sedang tidak shalat, aku hanya duduk di pekarangan Masjid sambil membaca al qur’an di aplikasi handphone. Sambil menunggu teman ku yang sedang shalat dhuha dan bel masuk tiba. Kami bersahabat sampai maut memisahkan, in syaa Allah. Semoga saja dia selalu istiqamah dan percaya hanya pada cinta halal dari Nya.
Jujur saja, soal-soal ujian mandiri lebih mudah dibandingkan soal-soal SBMPTN kemarin. Aku hanya bisa berserah diri mengenai hasil. Tapi aku yakin usaha ku kali ini sudah paling maksimal. Soal-soal yang ku kerjakan hampir aku tau semua jawabannya. Walaupun tidak tau apakah jawabannya benar atau tidak. Kemudian pulang dan menceritakan kepada Ayah. Memberikan soal nya juga agar Ayah membacanya.
Aku : “ini lebih gampang menurut aku dibandingin soal SBM kemarin Yah”
Ayah : “tau semua dong jawaban nya?’
Aku : “ya gak semuanya…hahaha aku kesel banget sama soal ekonomi. Aku Cuma isi 1 itu juga gak tau bener apa enggak.”
Singkat cerita, Ayah mempelajari soal-soal itu sekilas, Mama pun berkata setuju-setuju saja jika lolos disana. Mama hanya berharap aku kuliah dekat dan di jurusan yang aku inginkan.
Pengumuman tiba hari Selasa sekitar 2 minggu setelah test dilaksanakan. Tapi Jum ‘at setelah pengumuman Ujian Mandiri, kampus PTN ku yang D3 sudah ospek. Sedangkan jarak kampus dari rumah sangat jauh. Aku bahkan belum mencari kost-an. Dengan sigap dan dengan wajah lelah sang Ayah. Tepat hari minggu sebelum pengumuman Ujian Mandiri, aku dan Ayah pergi mencari kost-an tanpa membawa kendaraan. Kami menaiki kendaraan umum. Ya, kereta. Jauh sekali rasanya. Belum ditambah naik angkot ke dalamnya. Dengan lelah, dan kereta yang penuh. Ayah rela berdiri dan membiarkan aku duduk. 2 jam sekiranya Ayah berdiri didalam kereta. Aku sudah bilang Ayah saja yang duduk, tapi Ayah tetap ingin aku yang duduk.
“2 jam setengah perjalanan. Kalau kamu pulang pergi bisa 5 jam dijalan. Emang harus kost ini mah Dek” kata Ayah.
Kami berjalan kaki mencari kost-an di dekat area kampus. Jadi, didepan kampus itu ada sebuah perumahan yang bersih dan sangat luas. Banyak rumah disana yang dijadikan tempat kost-kost-an. Hampir seharian kami tanya setiap rumah apakah masih ada kamar yang kosong atau tidak. Jawabannya semua penuh. Katanya, aku terlalu lama jika ingin menyewa kost-an, karena sudah banyak yang lebih dulu menempati. Ayah ku pikir, ini sangat menggantung. Selasa pengumuman Ujian Mandiri sedangkan setelahnya di hari Jum’at sudah mulai ospek di kampus ini. Jika saja UM ku tidak lolos, maka aku hanya memiliki 2 hari untuk mencari kost-an, itu juga jika masih ada yang kosong. Jadi mau tidak mau akhirnya dari hari Minggu lah harus segera mencari kost-an. Jika Ujian Mandiri tidak lolos, maka aku sudah tenang karena sudah mendapatkan kost-an. Jika saja Ujian Mandiri ku lolos, maka tak apa melepaskan uang yang sudah di dp kan untuk biaya kost selama sebulan. Setelah mencari hampir seharian, akhirnya masih ada 3 kamar kosong di salah satu rumah disana. Pemiliknya sangat baik, aku bahkan diperbolehkan memasak di dapurnya. Katanya, anggaplah kita semua keluarga. Persyaratan nya mudah, setiap hari tidak boleh pulang lebih dari jam 11 malam, jika mendadak ada organisasi yang mengharuskan pulang tengah malam, langsung hubungi ibu dan pulang sebentar untuk pegang gembok pagar. Bagaikan ibu sendiri. Karena katanya kampus ini selalu banyak tugas dan aktif organisasi. Seluruh orang-orang yang kost di rumah ini adalah mahasiswa kampus itu. Dekat sekali, hanya 5 menit jalan kaki. Perumahan elit milik TNI. Yang rata-rata dijadikan kost-kost-an. Aku sudah menganggap pemilik rumah ini seperti orang tua sendiri. Dan syarat kedua adalah jangan bawa teman laki-laki kecuali di ruang tengah untuk kerja kelompok.
Kemudian kami pamit pulang dan membayar dp. Karena belum makan siang, akhirnya Ayah dan aku mampir di warteg tepat depan kampus itu. Kami makan dengan lahap dan kembali ke rumah sore hari. Didalam kereta aku tak ingin lagi Ayah yang berdiri, jadi Ayah duduk dan aku berdiri disampingnya. Aku sudah merepotkan Ayah hanya untuk urusan kuliah ku.

***

Di Atas CintaWhere stories live. Discover now