Yah, Batal

21 0 0
                                    

Semenjak kabar itu, setiap hari Kamis, aku tak lagi lihat Arka di kursi sebelah kanan. Ia memilih kursi paling pojok sebelah kiri bersama rombongan anak laki-laki. Tenang sekali rasanya, tapi juga sedikit merasa aneh. Kenapa Arka jadi menjauhiku begitu? Hari demi hari berlalu dengan saling membungkam. Bahkan pernah di suatu hari, hari Kamis juga, semua anak-anak berdiskusi setelah mata kuliah selesai. Aku dan Arka berbeda kelompok, saat itu kelompokku telah selesai diskusi dan aku seperti biasa, ingin langsung pulang ke rumah pas sekali dosen mata kuliah kedua berhalangan hadir. Dan seperti budaya yang kuciptakan, berpamitan sebelum pulang adalah sesuatu yang wajib. Semua teman-teman, kutemui untuk bersalaman, tapi tidak untuk laki-laki, kami hanya bertegur saja tanpa sentuhan. Dan aku ingat, saat itu aku pamit dengan satu kelompok yang masih berbincang.
Aku : “misi, maaf ganggu nih, pamit pulang yak Nia”
Nia : “ya ampun udah mau pulang aja lu, Ra”
Aku : “hahaha, Di, balik duluan yak”
Aldi : “tau lu, entaran aja sih”
Aku : “*nyengir* Ver, balik duluan ya”
Vera : “nanti aja siii, belum juga dzuhur”
Aku : “dzuhur di rumah aja, mumpung masih jam 11 hehe. Em…semuanya duluan ya”
Mereka menjawab iya secara bersamaan dan ditambah dengan kalimat hati-hati di jalan. Dari satu kelompok, lagi-lagi hanya Arka yang diam. Dan akupun tak berani pamit dengannya secara langsung. Aku pamit pun, ia tertunduk sambil membaca buku, entah judulnya apa. Hanya saja, yah begitulah. Dari pertama masuk kuliah, aku tak pernah berani berpamitan padanya. Dan keadaan kami tetap sama. Diam bahkan tak pernah bicara sedikitpun. Kejadian paling besar, bertatapan tanpa sengaja itupun hanya persekiandetik. Parahnya, sekarang Arka justru semakin menjauh jika ada aku disana. Ah tidak baik sekali keadaannya. Aku justru yang merasa tidak enak. Pun kalau kabar itu tidak benar, seharusnya dia biasa saja. Kalau benar juga yasudah, mau diapakan?
Tiba lah di hari entah hari apa. Shalat ashar tiba pada waktunya. Dan kami baru saja melaksanakan shalat ashar lagi-lagi pukul 5. Arka kulihat sudah masuk mushola dengan wajah dan poninya yang basah. Bukan poni, hanya sedikit bagian depan rambutnya yang basah. Karena kami basic pendidikan, maka rambut pun harus rapih selayaknya calon pendidik. Arka termasuk salah satunya. Dengan pembawaan kalemnya, dan bajunya yang selalu terlihat pantas dipandang. Benar-benar seperti seorang guru, cocok juga kerja di sebuah perusahaan. Pada intinya, aku mendiskripsikan style Arka itu adalah style seorang Ayah. Sekian.
Aku menunggu di depan mushola, disana terletak kursi panjang. Aku menunggu giliran sandal jepit untuk berwudhu. Kemudian teman ku Dewi datang dengan tanpa sandal jepit, ah dia tak pakai sandal ketika berwudhu. Mushola itu kecil sekali, ruang kelas yang tak terpakai dijadikan tempat ibadah. Untuk memasuki area akhwat, harus melewati area ikhwan dulu, itu tak enaknya. Selama aku menunggu memang area ikhwan penuh yang shalat. Arka menunggu di dekat pintu. Dan ada beberapa akhwat yang juga menunggu di dalam karena ingin keluar dari mushola. Sayangnya karena lelakinya penuh, para akhwat harus menunggu ikhwan tersebut selesai shalat. Aku menunggu tanpa memandang penuh ke arah mushola. Tapi saat Dew datang, mataku berfokus ke arah Arka. Bagaimana tidak? Dew meledek Arka yang sedang menunggu di dekat pintu. Dew meledek sambil tertawa agar Rama teman kelasku yang sedang shalat juga ikut tertawa. Dew meledek untuk menyentuh Arka dan Rama. Arka tersenyum biasa, yah sepertinya aku tak pernah melihat sosok Arka tertawa karena hal lucu. Ia pasti hanya senyum yang begitu kiranya. Senyum tenang jika ada hal lucu yang datang, dan senyum memerahkan pipi jika ada hal yang…entahlah, sulit dibaca. Mungkin itu senyum pertanda ia malu atau bahagia. Arka tersenyum saat Dew meledeknya. Dew yang tadi wudhu tanpa alas kaki, jelas licin saat menginjak lantai. Dew memang cewek yang dekat dengan siapa saja, ramah dan memang suka bercanda pada siapapun. Niatnya hanya bercanda untuk membatalkan wudhu Arka atau Rama, ya jelas. Kalau Arka dan Rama batal, maka Dew pun juga batal.
Dewi : “Ka, gua sentuh nih ya…hahaha”
Arka : “*senyum-senyum*” sambil menekukkan kedua tangannya seperti setelah takbiratul ikhram dalam shalat.
Dewi : “Rama nih gue batalin juga wkkwkwkwk , ya Ram ya?”
Rama : *sibuk mengkhusyuk-an shalatnya*
Dewi : “et udah ah awas Ka, gue mau masuk”
Arka : *memepet ke dinding dengan menggantungkan tangan kanannya di dinding dekat pintu, tangan kirinya disembunyikan di belakang pinggangnya agar ketika Dew lewat, tak menyentuh tangannya. Pun tangan kanannya yang bergantung di dinding dekat pintu sengaja dilakukan agar tidak tersentuh Dew dan menjadi penopang Arka agar tidak jatuh saat Dew lewat, yah, karena tempatnya sangat sempit, mereka jadi hampir berdempetan walau tidak sentuhan.
Tapi karena kaki Dew yang basah, saat Dew memasuki celah, Dew terpeleset yang akhirnya tangan Dew bertopang pada dinding seperti yang dilakukan Arka.
Dewi : “Eh ayam luuuu”
Aku : “eh Dewiii” aku terbangun dari kursi untuk menahannya. Syukurnya adalah Dew tidak jatuh.
Bagaimana Dew bisa jatuh? Tangannya bertopang pada dinding yang pada akhirnya tak sengaja bersentuhan dengan tangan Arka yang juga sedang bertopang. Rama yang usai salam langsung melihat kejadian itu dan tertawa terbahak-bahak. Beberapa laki-laki disana juga tertawa. Karena mereka shalat jama’ah, mereka bubar bersama. Melihat para akhwat yang di dalam sedang menunggu untuk keluar dari mushola, dan kejadian Dew yang akhirnya batal wudhu, membuat mushola ramai sekali keadaannya.
Dewi : “yaAllah, Ka…maafin ya Allah eh gue gak sengaja”
Rama : “kan, beneran batalin orang kan lu hahahaha”
Akbar : “hahaha Ka, batal udeh batal. Ternodai lu sama si Dewi”
Adam : “wkwkwk si Arka mukanya liat noh kek nahan kesel”
Dewi : “eh licin ya gua ga sengaja sumpah” Dewi pun tak bisa menahan tawa.
Rama : “hahahaha lu niat mau batalin orang jadi beneran batal lu Dew”
Akbar : “sabar Ka, wudhu lagi Ka, banyak aer tenang aje”
Adam : “banyak keran juga Ka, sini gua anterin tempat paling istimewa”
Akbar : “kaget lu nanti Ka, kamar mandinya berisikan keran Ka”
Adam : “keran nya mengeluarkan air, Ka. Air dari pegunungan asli, Ka”
Rama : “yok..yok kasih jalan yok buat Arka. Kita anter dia ke kamar mandi untuk berwudhu kembali”
Dewi : “eh gue ngakak ya Allah hahahaha”
Dan beberapa lelaki disana hanya tertawa saja, begitu juga wanita yang menunggu untuk bisa keluar dari mushola, mereka hanya tertawa. Aku pun sama. Hanya bisa menutup bagian mulut, ketika melihat teman-temanku bertingkah seperti itu. Kulihat wajah Arka yang tersenyum sambil menahan kesal. Jam shalat sudah mepet. Tapi aku yakin dengan wajahnya yang seperti itu, ia tak kesal sama Dewi. Tapi ia kesal karena tersentuh wanita yang bukan mahromnya. Hihi. Lucu melihat wajahnya. Aku bergegas ke kamar mandi untuk berwudhu, bergantian sandal dengan Milia yang kebingungan saat tiba di depan mushola karena ramai dengan tawa. Disusul dengan Dewi yang juga berwudhu kembali. Setelah aku berwudhu, aku menggulungkan bagian lengan bajuku di dalam, khawatir tidak sengaja terpandang lagi seperti beberapa waktu lalu. Dewi masih saja tertawa sambil menyalakan keran air.
Dewi : “ngakak ya ampun, aku tuh gak sengaja Ra, licin wkwkw”
Aku : “hahahahaha lagian kamu mah ada-ada aja Dew” kata ku sambil berjalan keluar.
Tepat disamping kamar mandi perempuan adalah kamar mandi laki-laki. Dan lagi-lagi. Aku berpapasan tanpa sengaja tepat pada kedua bola mata Arka. Begitu juga Arka. Ya Allah, sudah berapa dosa yang tercatat, melihat sudah kesekian kalinya kami tak sengaja. Kami berpapasan di pintu keluar kamar mandi. Ia mempersilahkan aku lebih dulu jalan ke mushola dan ia berjalan di belakangku. Mushola sudah sepi, dikarenakan memang sudah jam mepet menuju maghrib. Mushola itu hanya terbatasi oleh kain panjang seperti gorden dibagian tengah. Aku mengambil bagian kanan memepet dengan gorden tersebut. Kanan adalah sesuatu yang baik bukan? Kemudian shalat dengan khusyuk. Menenangkan pikiran dan lagi-lagi bertanya dalam hati “Ya Allah, kapan ini semua berakhir? Akankah impian ku masih bisa kuraih?”. Sampai tiba pada salam akhir shalat. Saat salam pertama sebelah kanan, kulihat ada bayangan yang juga tengah duduk tasyahud akhir. Salam kedua sebelah kiri, kurasakan sesak dalam dada. Bayangan itu, bayangan Arka. Per ke-sekian menit, kami duduk usai shalat. Bersama. Dibatasi oleh gorden berwarna kuning muda.
Menunduk taat. Aku tau aku bukanlah hamba yang ibadahnya semangat. Hamba yang selalu penuh keluh kesah. Hamba yang lagi-lagi meminta lebih soal duniawi. Tapi ketika aku berteduh dalam shalat, aku benar-benar rasanya kesal akan sebuah takdir. Seakan jalan ini adalah jalan yang penuh dengan penyesalan. Otakku berputar pada bagian dmz yang dimana penuh dengan kata “Andai”. Andaikan saja saat itu aku tidak memilih jurusan ini diurutan kedua, mungkin sekarang aku merasa lebih baik. Setidaknya dengan keadaan yang baik. Penatku rasanya tercampur kesal tanpa rasa syukur. Berwarna memang, kadang aku tertawa, kadang bahagia, kadang tersenyum ceria, yah kadang. Seringnya, emosi-emosi negatif yang datang menyerang. Persona ini seperti laknat yang membuat diri hilang dari kepribadian. Mencari secercah harapan yang entah kapan datang. Berjalan di trotoar kestatisan hidup. Mengemban beban yang memberatkan lisan untuk tak berani berontak. Aku yang dulunya public speaking, tiba-tiba saja sirna menjadi seekor ulat dalam kepompong. Tak berani berlisan akan pengetahuan. Tak berani membenarkan atau bertanya pada ilmu yang tak pernah menjadi ketertarikan. Ikuti alur tanpa tahu dimana letak halte akan tiba, tanpa tahu akankah ada ending yang mengatakan “selesai, kamu telah keluar dari zona ini”.
Kau tau? Banyak sekali para motivator berkata soal Out of Comfort Zone . Sejujurnya, ketika kaki masih berpijak di jurusan tersebut, aku tak pernah bisa percaya akan motivasi soal Out of Comfort Zone . Hoax. Kau harus tau betapa pedihnya salah jurusan dengan hilangnya celah menggapai impian.



***

Di Atas CintaWhere stories live. Discover now