Aku, Kau, dan Dia

10 2 0
                                    



Kutemukan judul itu setahun yang lalu. Cover berwarna hijau dan pink yang menyejukkan walau tak sesejuk Oranye dan Biru. Setiap hari selepas aku putuskan untuk hijrah, mataku yang menyipit lihat mentari yang menyilaukan di atas langit, mengingatkanku pada perjuangan seseorang yang juga sedang memanas. Aku selalu berpikir bahwa langit tetap satu. Jika di sini mendung, maka di sana juga akan mendung. Seperti apa pun keadaan langit, buatku tetap biru. Walau harus sadar bahwa penasaranku soal inisial Z itu tak terjawabkan. Walau harus paham bahwa perbedaan jarak ini bisa saja menghapus jejak-jejak sebelumnya. Aku bukan apa-apa. Lantas, mengapa selalu saja ingatkan langit, ingatkan Arka?

Gagal menikah, bukan berarti gagal bangkit dari keterpurukan. Aku bangkit dan kembali seperti awal. Kuraih segala potensi yang ada. Kembali bersemangat menghadapi rintangan di depan. Sampai pada momen di mana buku yang kubaca membuatku bergetar. Oh! Kuingat kawanku bercerita bahwa wanita juga berhak berikhtiar secara semu. Why not? Istikharah ku sebutkan. Yang berikan jawaban , iya.

Buku itu kuberikan pada Arka. Aku juga tak paham betul mengapa aku memberikannya. Tetapi yang jelas, I just believe. Aku hanya yakin. Yakin yang bahkan tak bisa aku deskripsikan mengapa bisa yakin. Yakin yang hanya yaaaaa. Yakin saja pokoknya. Yakinku bisa bekerja sama dan hijrah bersama. Karakternya yang berbeda menjadi penyeimbang karakterku. Tetapi, manusia mana yang percaya akan kata-kata tidak jelas itu? Yakin? Yakin yang tak bisa di describe? Apa maksudnya? Tak usah diperjelas. Yakin ini hanya yakin. Dan hanya yang yakin yang merasakan yakin itu sendiri. Yang jelas, yakin ini tingkat paling atas setelah cinta. Mana ada manusia yang selalu terpikirkan pada sosok yang bahkan tak pernah diajak mengobrol? Yang bahkan telah pisah wadah menuntut ilmu selama setahun lebih? Masihkan disebut dengan suka? Apakah tidak terlalu kekanakan?

hingga pada kisah seru yang meluapkan emosional negatif di berbagai sudut hati. Saat di mana aku dapatkan bertemu dengan masa lalu yang pernah goreskan harapan dalam pernikahan. Ya, yakin yang dibuat oleh manusia. Lalu, kulihat tulisan Arka melalui sosial media. Walau aku tak tau, apakah tulisan itu untukku atau tidak. Tulisan itu menggambarkan emosional cemburu dan hancur akan harapan. Aku bertengok pada pertemuanku dengan masa lalu itu. Itu hanya pertemuan untuk pengobatan. Pertemuan berbagi cerita buruk akan persahabatan, yang di mana sahabatnya itu adalah kawan ku sendiri. Dan bayarannya adalah ia menjadi tutor menulisku secara gratis. Lantas, mengapa seakan aku diterjang kesalahan? Disahkan menjadi tukang pemberi harapan?

Lalu, bodohnya aku lah yang justru ikut membalas dengan untaian pula. Hatiku seperti diguyur gerimis tajam. Sebab, persepsi buruk bukanlah aku.

Di Atas CintaWhere stories live. Discover now