BEHIND

13 2 0
                                    



Bulan berlalu dengan cepat. Tak terasa sudah hampir satu bulan aku di kehidupan baruku. Namun, tak sedetik pun aku tak rindu pada kampusku dulu. Pijakanku bermagnet pada rumput dekat tugu di kampus lamaku. Terakhir ke sana adalah 4 bulan sebelum masuk perkuliahan di kampus yang baru. Rindu. Rinduku meledak tanpa sadar bahwa ledakan itu dipicu oleh panasnya cahaya matahari. Arka disebutnya. Segera kukabarkan sahabatku Dwi, Rani, dan tak lupa pada Dew yang kepolosannya sangat kurindukan. Satu jam perjalanan membuatku kembali kepada masa lalu. Dimana saat aku berjuang untuk lewati hujan dan banjir di sekitaran. Macetnya, anginnya, dedaunan yang berjatuhan, menjadi pandangan mengesankan untukku yang sudah lama sekali tidak melihatnya. Aku rindu. Rindu pada kampusku yang dulu. Tidak untuk mata kuliahnya. Hanyaaa... aku rindu perjuanganku saat harus berkuliah di sana. Mungkin itu alasan mengapa aku masih dan akan terus mencintai kampus itu. Ya. Karena perjuangan yang dulu pernah kulewati.

Tiba lah aku di parkiran padat yang memajangkan motor-motor berparkir miring. Mahasiswa di sini masih tak peduli soal kenyaman akan lapak berparkir. Aku tersenyum dan, "ternyata masih sama seperti dulu." Ucapku dalam hati. Aku berjalan menuju gedung di mana aku belajar dulu. Ramai namun tak kupandang wajah di keramaian itu. Aku terus berjalan menuju masjid di mana menjadi tempat berteduh paling aman untuk akhwat yang sendirian. Lalu, tak lama kemudian mereka datang dan kami saling berpelukan. Sudah lama tak bertemu. Aku bahkan sempat ikut kelas mereka. Haha untunglah dosennya tak peduli siapa yang berbeda itu ; aku. Kelas berakhir pukul 4 sore. Segera langkah kaki bertuju pada tempat teduh di samping gedung. Kami shalat ashar. Usai wudhu, entah mengapa rasanya ingin berada dekat jendela di sebelah kanan. Aku berdiri di samping jendela. Lalu ku kibaskan mukena berwarna pink milik masjid tersebut. Tiba-tiba dada ku berdegup kencang seperti masa lalu itu. Ya. Kulihat bahu dan punggung dari samping kananku. Aku tak lihat wajahnya, hanya lihat punggung dan bahunya yang berjalan menuju ke depan dengan lesu dan begitu lelah kiranya. Aku bahkan tak ingat warna bajunya, karena saat mata ini terbelalak, hati ini berdegup, aku segerakan duduk. Astaghfirullaah. Itu tadi siapa? Aku pindah ke bagian tengah.

Aku hanya mengadu. Bahwa sepertinya mata ini sedang berlangganan akan ketidaksengajaan lagi. Iya. Aku yakin.

Di Atas CintaWaar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu