Menghilang Sehari

11 0 0
                                    

Qadarullah, di hari H lomba, aku justru malah diberi sakit oleh yang Maha Kuasa. Sehingga hari itu, aku memutuskan untuk di rumah saja. Ya dengan setumpuk tugas dan rasa bersalah karena tidak jadi ikut lomba mewakili kelas. Aku ingat betul paginya ku kirim sebuah pesan pribadi pada Arka. Bahwa aku tidak bisa masuk dan datang ke kampus karena vertigo ku yang kumat. Arka cepat sekali membalasnya.
[“wa’alaikumsalam, iya gapapa ra. Cepet sembuh ya”]
Begitu katanya. Aku merasa tak enak. Arka lah yang mengurus semua-muanya, mungkin karena Arka memiliki amanah sebagai ketua kelas. Begitulah, hampir setiap hari aku merasakan tumpukkan beban yang terus menimbun dada. Aku menahannya. Aku harus tetap nyaman. Nyaman untuk bertahan.

Esoknya, mendengar tugas dikumpulkan hari itu, aku nekat datang ke kampus. Dengan kepala yang luar biasa pusingnya. Masih nekat membawa motor. Setelah tiba, dosennya tidak masuk. Pun begitu juga dosen mata kuliah yang kedua. Ya, bisa dikatakan hari itu semua dosen kelas kami tidak masuk. Argh. Rasanya…ingin marah-marah yang tiada gunanya. Sama seperti nekat datang dengan kepala yang luar biasa menyakitkan, namun sesampainya di kampus tak ada satupun dosen yang masuk.
Aku sibuk memandangi langit yang begitu cerah terpandang dari lebarnya kaca kelas. Duduk di kursi paling pojok sambil menatap awan yang bergerumbul indah. Memejamkan mata dan bertanya pada diri. “kapan ini semua akan berakhir? Akankah masih ada secercah harapanku untuk belajar soal anak? Ikut serta dalam kegiatan sosial dan bisa mengkaji isu-isu psikis anak?” air mata tidak turun dari mataku. Tapi hati ku pedih menahan tangis. Jenuh dan stress menghampiriku setiap hari. Seperti ingin keluar dari zona yang telah mengikatku erat. Mungkin biasa saja bagi orang lain. Tapi buatku, tak melihat celah dalam meraih mimpi sungguh menjadikanku seperti monster penuh topeng. Aku merasa disitu tak punya kespesialan diri, tak bisa ikut banyak membantu teman dalam mengerjakan tugas, dan tak berani bicara di depan karena aku merasa itu bukan ilmu yang ingin aku pelajari. Saat itu kulihat Arka juga sedang duduk di kursi pojok sebelah kanan. Jauh sekali dari kaca lebar berbackground langit. Ia duduk sambil membaca buku entah apa judulnya. Aku hanya melihat sekilas dan ia membalas tatapan itu dari kejauhan. Segera ku kembali menatap langit. Setidaknya, langit mungkin mengerti apa yang kurasakan. Ah, jangan-jangan Arka melihatku memejamkan mata dengan setumpuk beban di dada? Yah, kalau lihat memang kenapa?
Dwi : “Ra, lu nekat banget sih. Mau pulang gak? Mending pulang deh. Muka lu pucet banget.”
Aku : “ah gapapa, kirain tuh tugasnya dikumpulin hari ini”
Rani : “utuk utuk anak emak, besok-besok jangan maksain Ra”
Aku : “maapinnnnn”
Tidak lama, aku pergi keluar kelas untuk mencuci muka. Dwi menggandeng ku ke kamar mandi. Saat kubuka pintu kelas, kulihat Arka sedang duduk didekat jendela pojok lorong. Ia menatapku dan kemudian kami langsung tertunduk bersamaan. Dan setelah dari kamar mandi, aku memutuskan untuk pulang ke rumah, diantar Dwi karena ia tak tega melihatku pulang naik motor dalam keadaan pusing.

***

Di Atas CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang