Aku Ingin Menikah

11 2 0
                                    



Ya. Aku ingin menikah. Siapa yang tak ingin menikah? Waktu terus berlalu mengikuti arah jarum jam berputar. Ujian, praktikum, kuis, observasi, hal-hal merepotkan telah dilalui selama satu semester penuh. IP yang dulu kuanggap sebuah keberuntungan, kini bisa kubuktikan dengan hasil nyata melalui usaha. Ya, IP yang memuaskan menyesuaikan usaha yang dilakukan membuat senyum Ayah dan Mama mengembang. Inilah aku sesungguhnya. Menjadi diriku, di wadah nyamanku, dan satu-satunya yang kucari yaitu, Ilmu. Dengan seperti itu, uang yang dikeluarkan Ayah untuk biaya kuliah tidak akan sia-sia. Sebab, ilmunya kuserap banyak untuk masa depanku.

Siapa sangka jika aku masih teringat dengan Arka? Si pemuda tak banyak bicara? Siapa sangka jika di bulan berikutnya, ada yang katakan ingin menuju pernikahan? Dan siapa yang akan kira jika ternyata jawabanku adalah, iya?

Tidak akan ada yang menyangka. Aku pun mengelaknya. Sebab, semua terjadi begitu saja tanpa diminta. Hanya dengan alasan cara yang syar'i... aku suka. Tanpa pikir panjang soal rasa dan yakin dengan menikah. Bukankah menikah itu hal yang harus utuh? Sampai tiba pada jawaban-Nya yang katakan, tidak. Ayahku yang juga katakan, belum. Muak rasanya jika ingat pada kisah perencanaan dalam menikah. Karena ternyata menikah itu tak semudah yang dibayangkan. Menikah bukan hanya soal kamu dan dia. Menikah bukan hanya soal rasa sayangmu terhadap sosoknya yang melamar. Tetapi, menikah itu soal kedua keluarga. Keluarga yang berbeda visi, pandangan, profesi, suku, bahasa, atau bahkan perbedaan lainnya baik perbedaan yang sederhana atau pun yang tidak sederhana. Kedua keluarga itu harus bersatu bukan untuk menyamakan perbedaaan. Tetapi, untuk memberikan rasa ikhlas dan ridho jika sang pengantin menjalin hidup bersama se-surga. Ya, menikah karena ibadah. Bukan karena ia tampan, cantik, mapan, dewasa, atau bahkan kaya raya. Aku ditampar-Nya soal yakin. Yakin dalam pernikahan.

Aku yakin menikah dengan orang itu sebab orang itu sudah mapan, punya hobi yang sama denganku, ia berjiwa ke-ayah-an, ia terkenal di khalayak umum, dan apalagi yang kurang? Apa alasanku untuk menolak jika dirinya sangat perfect bagi diriku? Ya. Ada yang kurang. Yaitu keyakinan. Keyakinan bahwa apakah aku bisa hidup bersamanya sampai kelak Ajal menjemput? Ragu aku menjawab, tetapi hal-hal tadi membuatku yakin. Aku sadar dari awal, ragu. Tetapi, aku terus mengusahakan untuk yakin. Sampai akhirnya yakin itu sirna. Sebab, yakin itu hadir karena diyakinkan oleh manusia. Bukan yakin yang datang dari Maha Pencipta.

Aku gagal lagi. Soal hal lain yang menjadi salah satu impian besarku ; menikah.

Lantas, mengapa pikirku lagi-lagi bertuju pada Arka di saat yang tak ada kaitannya dengan dia?

Di Atas CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang