MONAS, CUY!

14 2 0
                                    


Kau tau? Ujian itu membuat pusing kepala. Hari ke-2 disuguhkan kurva-kurva dari mata kuliah pengantar ekonomi. Usai ujian, anak laki-laki bergegas bertopang dagu di jendela besar berkaca sinar mentari. Siang itu sungguh cerah sekali. Awalnya aku tidak terlalu memperhatikan apa yang mereka lakukan. Aku sibuk belajar bersama untuk mata kuliah besoknya. Kulihat Arka datang menghampiri mereka kemudian tersenyum yang menurutku itu tanda tawanya, dan bergegas keluar entah kemana dan mau apa. Sampai tawa anak laki-laki membuyarkan hafalan, aku menengok ke arah mereka. Hahaha mereka ternyata sedang foto-foto yang kukira hanyalah foto biasa. Ternyata, foto itu bermakna. Di mana kami sedang berada di lantai 10 paling atas, dan dengan kaca jendela yang transparan membuat Monumen Nasional terlihat dari kejauhan. Mereka tertawa karena monas terlihat sekilas. Padahal jarak monas dengan kampus sangat jauh. Mungkin ini adalah hal receh namun bermakna bagi mereka. Canda tawa itu akan selalu kuingat. Mereka penuh bahagia sambil meledek satu sama lain.
Adam : “dasar lu , norak”
Ilham : “elu noraaaakkkk”
Aldi : “yang norak tuh si Akbar sama Rama noh, foto foto anjir kayak ga pernah liat monas”
Rama : “alaah luuu bilang aja mau ikutan foto! Sini gue fotoin. Lu gaya begini nih biar cool” (bergaya di depan Aldi)
Aldi : “ogah, eh coba si Akbar yang foto kek gitu coba” (mendorong-dorong Akbar)
Adam : “hahaha coba, Bar , cobaaaa”
Akbar : “jangan gue dih, terlalu seksi gue nanti”
Ilham : “jijiiiiiik”
Maulana : “iya lu seksi kok sayang, coba foto cepet pake gayanya Rama”
Akbar : “malu sayangg”
Vina : “eh geli asliiii dengernya”
Rama : “cepetan dih, kayak gini nih. Lu seakan-akan megang ujung monasnya, Bar”
Aldi : “dari sudut pandang kek gini nih cepetan, Bar”
Akbar : “nihhhh *berpose*
All : “hahahhahahahahahaha gila ah norak bat punya temen-temen ya Allah”

Yah, andai saja kenyamanan itu bisa abadi dalam nyata. Nyatanya tak sebanding dengan kenyamanan yang diharapkan. Benar kiranya, berharap pada dunia membuat diri semakin tak merasa apa-apa. Aku butuh keluarga yang mendukungku sepenuhnya. Namun, apakah impian ku masih bisa kulihat melalui kecilnya sebuah celah?


***

Di Atas CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang