UTS (bukan Ujian Tunggu Someone)

24 1 0
                                    

Tak terasa, hari demi hari berlalu. Dengan setumpuk tugas yang bukan masalah buatku. Tapi setumpuk beban yang mendominasi jiwa lah yang menjadi masalah buatku. Sudah 2  bulan kami bersama. Sudah 2 bulan kami belajar disini. Ujian… tepat pada awal bulan November. Entahlah. Aku tak menyiapkan apapun sama sekali. Terutama Akuntansi. Dimana semua tugas Akuntansi selalu saja copy paste punya kawan, sekalinya mengerjakan sendiri, mendapatkan hasil yang tidak balance. Lalu bagaimana ujian? Aku bahkan tak tau akan mengisi apa. Aku bertanya pada kakak ku soal nilai perkuliahan. Rasanya ingin kabur dari dunia nyata. Maksudnya, dari kampusku disana. Aku benar-benar lelah sekali menahannya. Bukan UTS yang ku khawatirkan, tapi aku khawatir akan impian ku yang telah terukir, apakah…masih bisa aku raih?
Hari pertama, sialnya aku dapat kursi paling depan. UTS di kampus tersebut tidak memakai nomer urut. Tapi siapa cepat ia dapat. Karena aku ratunya telat, dapatlah kursi paling depan. Ujian pertama adaalah matkul Akuntansi. Bagus sudah moment nya. Aku duduk dengan rasa pasrah. Terserah Allah saja. Aku mengeluarkan tempat pensil, papan, dan pastinya botol minum di bawah kolong kursi. Dan kulihat Arka mondar-mandir di depan ku. Aku tak menatapnya. Kemudian banyak yang berkata “Ka, sini aje Ka.” Dan ia berjalan ke belakang. Aku mencari Dwi, yap Dwi jago akuntansi, haha sayangnya saat aku menengok ke arah kursi Dwi, aku mendapatkan sosok Arka yang sedang duduk tepat di belakang ku. Bahkan ia bisa menggantungkan kakinya di bagian belakang kursi ku. Ia melihatku terkejut, aku pun juga. Lucu. Hanya dengan terkejut, dada ku berdegup. Dan aku lupa soal Dwi yang jago akuntansi. Hah sulitnya.
Beberapa kali aku minum air putih saat mengerjakan soal. Dan beberapa kali kudengar suara keluh “mich…michh” kesusahan dalam mengerjakan. Iya, itu suara Arka. Satu-satunya laki-laki yang duduk di barisan pertama dan kedua. Terakhir aku mendengar kata yang keluar dari mulutnya, “Ya Allah susah banget” dengan nada kalemnya. Tapi aku tau, dari nada tersebut ada beban dan kekesalan yang dipendam. Ya. Dia tidak suka Akuntansi. Sama sepertiku yang bahkan amat membencinya wkwkkw. Dan itu adalah pertama kalinya aku tau, sediam-diamnya seseorang, ia tak akan bisa menahan kekhawatiran dan ketidaksukaan.
Ujian hari pertama selesai, saat sedang berbenah dan akan segera pulang seperti biasa, Dwi memanggilku.
Dwi : “Ra, bentar jangan pulang dulu”
Aku : “kenapa wi?”
Dwi : “kabar good nih”
Aku : “hah kabar apa?” tanya ku penuh penasaran.
Dwi : “berhubungan sama mimpi lu Ra”
Pupil mata ku membesar, dan memori ku mengantarkanku pada satu momen. Arka?
Dwi : “nama lu disimpen di hatinya hahahaha”
Langsung segera aku peluk Dwi dan mencubitnya. Tapi mengapa aku begitu deg-degan? Tak lama Dewi menjelaskan kronologinya. Yah, beberapa waktu lalu banyak yang meledek Arka. Kenapa selama ini kalem sekali menjadi laki-laki. Apakah Arka tak punya hati untuk menyukai seseorang? Dan biasanya Arka selalu saja jawab dengan senyum yang tak bisa ditebak artinya, namun saat itu Arka menjawab bahwa ia suka pada wanita yang berkerudung syar’i. Saat mereka bertanya siapa namanya, Arka menjawab Z dan pergi begitu saja. Dan di kelas yang bernama Z hanya aku seorang, tapi yang berkerudung syar’i bukan hanya aku. Pun aku belum merasa disebut wanita berkerudung syar’i. Saat Dew menjelaskan itu padaku, teman-temanku yang lain langsung meledek…
“oh Z ya?”
“oh tau gua mah kalo Z”
“baru sadar nih”
“duhhh jadi si Z toh”
Arka langsung keluar kelas entah kemana. Aku pun bingung menanggapinya. Aku ikut keluar dengan tas yang kugendong. Aku tidak ilfil atau kaku sama sekali. Aku bahkan justru mengkhawatirkan Arka. Kalau kabar itu benar, Arka tak seharusnya kaku pada ku. Yah, kau tau, sebelum ada kabar itu, Arka sudah jauh lebih kaku padaku. Semenjak berita itu menyebar, ia benar-benar menjauhi ku. Seperti saat pertama kali aku masuk kelas dan bertemu dengannya.


***

Di Atas CintaOù les histoires vivent. Découvrez maintenant