First Sight

29 1 0
                                    

Hari pertama memasuki dunia perkuliahan sungguh membuat penasaran. Seorang mahasiswa yang akan menulis catatan di kertas binder, seorang mahasiswa yang akan duduk di bangku dan meja yang menyatu, seorang mahasiswa yang akan datang mencari ilmu dengan memakai baju bebas. Semua begitu membuatku penasaran bagaimana rasanya. Hari pertama kulalui dengan macet dimana-mana, dibonceng oleh kawan ku anak Teknik. Iya. Dia laki-laki. Habis bagaimana lagi, aku belum terlalu hafal jalannya. Dia adalah temanku se-masa sekolah dasar. Rumah kami pun berdekatan. Seharusnya masuk kelas pukul 08.00 tetapi karena macet yang tak karuan, aku tiba di kampus pukul 08.15 itu pun belum ditambah jalan kaki dari parkiran ke gedung belajar, belum ditambah dengan mengantre lift. Aku lari terburu-buru, aku bilang kepada temanku bahwa nanti aku pulang sendiri naik kereta. Helmnya? Aku lupa akan hal itu. Haha saking paniknya, aku lari ngibrit ke gedung yang cukup jauh dari parkiran. Tak sempat lihat grup kelas di handphone. Memasuki gedung dan mengantre lift. Hari ini jam pertama berada di lantai 5. Namun, setelah sampai di lantai 5, ada lagi yang membuatku bingung. Ruangan. Banyak ruangan di sana, aku bahkan tidak tau kelasku yang mana. Angka 508 ku lihat dari jadwal yang ku punya. Berarti lantai 5 dan ruangannya nomor 8. Hanya itu yang kupikirkan. Setelah menemukan kelasnya, aku mengintip sedikit dari kaca pintu, ah iya. Ada teman ku disana. Hanya beberapa yang ku hafal nama dan wajahnya. Tanpa melihat dosen sudah ada atau belum, aku langsung mengetuk pintu itu dan membukanya.
*tok…tok…tok…*
“Assalamu ‘alaikum” kata ku sambil menunduk. Tanpa melihat meja dosen. Aku langsung terpaku pada mahasiswa yang seluruhnya melihat ke arahku. Ah malu sekali.
“monyong lu, gue kaget”
“eh astaghfirullah”
Ada beberapa yang merespon seperti itu saat aku datang masuk ke kelas. Aku menunduk meminta maaf mengagetkan mereka. Semua tertawa. Dan mereka kira aku adalah dosen nya. Saat itu aku memakai masker, dengan jilbab yang tak terlalu panjang, kemeja kotak-kotak, rok jeans, dan sepatu skets yang terikat berantakan di kaki ku, akibat berlarian dijalan tadi.
“eh maaf maaf ya Allah” kata ku sambil tertawa, hanya terlihat mata ku yang menyipit, tertutup masker boneka panda. Mereka masih tertawa. Bahkan ada beberapa yang memegang dada. Mungkin karena terlalu terkejut. Sebegitu seram kah seorang dosen? Hihi
“gue kira dosen ya Allah, eh ini Aira ye?” tanya teman ku dengan logat betawi nya.
“haha iya, salam kenal ya, dengan?” tanya ku kepadanya.
“gue Via”
“gua Lia”
“gua…” tiba-tiba Via memotongnya,
“eh mending kita kenalan satu-satu dah”  dan berakhir dengan saling berkenalan satu per satu. Ku rasa kelas ini menyamankan untukku. Ku rasa.

Aku melihat ke arah laki-laki, hanya sedikit jumlahnya, aku melihat ke arah mereka karena ada salah satu di antara mereka yang berbicara ke semua mahasiswa. Lalu mata ku tertuju pada 1 orang yang sedang sibuk membaca buku, entah buku apa atau hanya sekedar buku tulis biasa, ia duduk dipaling belakang, sendirian. Aku menyangkanya bahwa dia adalah senior yang mengulang. Aku bertanya pada kawan di sampingku.
“cowok yang dibelakang itu senior kita ya?”
“ah? yang mana?” katanya sambil celingak-celinguk. “iya kayaknya deh, eh gatau deng”
Sejujurnya, aku biasa saja. Bahkan semenjak kuliah, aku agak sensitif dengan laki-laki. Dalam artian aku sadar untuk menjaga diri dari godaan syaiton. Walaupun, mata ini sempat bertatapan secara bersamaan dalam waktu yang sangat sebentar. Ya, saat aku memasuki kelas tadi. Aku melihatnya mendengak ke arah ku. Mata kami sempat bertatapan. Walaupun tidak lebih dari 2 detik.
Kami menunggu berjam-jam,tidak ada dosen yang masuk ke dalam kelas. Akhirnya kami berusaha menelepon dosen tersebut dan taraaaaaaaraaaaaaa… dosen tersebut bilang berhalangan hadir. Sip. Kami menunggu dari pukul set.8 pagi sampai set.11 dengan perut yang lapar, diberi kabar bahwa yang kami tunggu ternyata tidak bisa datang. Begitulah kampus negeri. Sering mem-PHP-kan mahasiswanya. Akhirnya kami semua pergi ke kantin, mencari makan. Berpisah dengan laki-laki. Dan aku pun tidak peduli bahkan aku baru bisa mengingat nama-nama mereka ketika Ujian Tengah Semester berakhir.
Kami makan di kantin dan mengobrol bersama. Tidak semua. Hanya beberapa. Ya, kelompok-kelompokan. Aku yang tipikal tidak terlalu peduli di awal, yasudah ikut saja siapa yang mengajakku bersama. Perihal sahabat, itu beda lagi seleksinya. Hingga akhirnya kami masuk ke jam mata kuliah yang ke-2. Letak gedungnya jauh dari gedung pertama tadi. Tidak ada lift. Hanya tangga. Dan kelas kami berada di lantai paling atas. Lantai 4. Ya, ngos-ngosan kami menaiki tangga satu per-satu. Sampai di kelas, hanya bisa selonjoran dan mengeluh.
“adain lift kek ya”
“ini gimana ya kalo dosen nya gak kuat naik tangga, kayak dosen-dosen yang umurnya udah agak tua…kasian”
“3 Minggu aje gue begini terus tiap hari nonstop, kurus gue” Mereka mengatakan itu sambil duduk dan minum air putih. Seperti habis lari marathon 5 km. hahaha.
Aku duduk di urutan ke-2 dari belakang. Tak ingat siapa saja yang ada di belakang ku. Aku hanya ingat dosen mata kuliah itu masuk dan memberikan silabus materi selama setengah semester. Ya, beliau hanya bisa mengajar kami 2 bulan.
Hingga ashar tiba, aku shalat di masjid kampus yang terkenal masjid penuh kedamaian. In syaa Allah. Setelah shalat ashar, aku berpamitan kepada kawan-kawan ku yang ada disana. Aku membiasakan untuk salam-salaman ketika pulang tiba. Selain meruntuhkan dosa-dosa kita, aku juga ingin mempererat silaturahim. Aku berjalan jauh sekali hingga tiba di halte depan kampus. Menaiki angkot dan turun di stasiun. Lalu naik kereta. Dan setelah sampai di kota ku, aku lanjut dengan memesan ojek online. Sebenarnya di dalam kereta itu cepat, yang lama itu ya di angkotnya. Bisa 1 jam aku di dalamnya. Sampai rumah pukul 17.20 sore. Ya begitulah, rasanya lelah. Entahlah seperti ada sesuatu yang mengganjal. Sesuatu yang aku tunggu saat itu adalah hari Sabtu datang. Hehe………… libur.
Jum ‘at di skip karena ternyata dosennya tidak bisa masuk. Hehe jangan kaget jika kamu kuliah di negeri dan jarang bertemu dosen. Itu adalah hal yang biasa. Sekalipun dosen tidak ada, akan muncul jam pengganti dan tugas yang tak pernah surut, yang belum tentu menjanjikan mu mendapatkan nilai bagus.
Melihat mata kuliah yang menjenuhkan, aku berjalan penuh keraguan. Apakah aku berada di jalan yang benar? Berada di dalam passion ku sesungguhnya? Tetaplah ini kampus impian. Aku harus mengusahakan untuk betah bertinggal. Aku pernah kuliah dengan pulang pergi naik kereta, ya dengan durasi yang sangat lama. Lelah di jalan. Dari rumah make bedak, di pertengahan jalan bedak sudah tergantikan dengan keringat. Aku benar-benar lelah jika setiap hari harus seperti itu. Dengan mata kuliah yang jam nya tidak menentu. Sudah buru-buru, ternyata sampai kampus, dosen bilang berhalangan hadir dan hanya meminta tugas dikumpulkan besok. Aku pulang lagi dan hanya membuang-buang waktu ku di hari itu. Entahlah rasanya malas untuk mengikuti organisasi. Mungkin karena lelah yang tak kunjung hilang dari kaki sampai ujung kepala. Dan perlahan, semakin waktu berjalan…aku jenuh dengan kampus itu. Hidup ku flat. Apalagi dengan mata kuliah yang bagi ku sangat tidak penting. Mungkin karena aku tidak suka. Dan menurutku sangat jauh dengan prinsip ku yang ingin menikah muda. Seharusnya jika aku lolos di psikologi, pasti banyak materi setiap harinya yang menambah wawasan ku mengenai psikis, dan tentunya itu sangat berguna untuk ku juga anak-anak ku nanti.
Galau terus menghampiri ku setiap harinya, aku hanya berpikir apakah hari-hari yang ku jalani ini ada manfaatnya atau tidak. Apakah hari ini aku mendapatkan ilmu akademik atau tidak. Melihat mata kuliah Pengantar Akuntansi yang dosennya ceramah hal-hal di luar konteks, justru semakin membuat ku bertanya-tanya dalam hati. Aku datang jauh-jauh kesini untuk mencari ilmu atau hanya sekedar kewajiban untuk absen dan berharap mendapat ip bagus? Aku termenung sambil menatap layar dari infocus. Hanya menatapnya. Pikiran ku melayang-layang di angkasa.
*gedebukkkkk* tiba-tiba saja sebuah netbook jatuh dari meja yang tingginya lumayan jauh dari lantai bawah.
“haduhhh Ar…”
“itu netbook jangan dibuang Ar”
“setdeh si Arka…banyak duit”
“eh eh coba liat, gak kenapa-kenapa kan netbooknya?”
Ya, netbook yang jatuh itu ternyata milik Arkarna. Ia duduk di belakangku, entah persis di belakangku atau tidak, yang jelas saat netbook itu jatuh, ia hanya mengelus-elus sambil tersenyum malu. Aku yakin, kalau aku yang merasakan, maka pasti aku akan panik detik itu juga. Heuheu.
Dosen tiba-tiba saja izin keluar karena ada urusan lain.
“Nak sudah cukup sampai sini saja ya. Saya ada urusan penting. Jadi kita percepat waktu kuliahnya. Jangan lupa kumpulkan tugas di pj nya ya. Assalamu ‘alaikum”
“Wa ‘alaikumsalaam” serentak kami menjawab.
Bagi mahasiswa, momen itu adalah momen yang membahagiakan. Karena sebagian dari mereka bisa segera nongkrong di kantin, dan sebagian entah kemana. Aku? Akan segera pulang pastinya. Akhirnya aku pulang dan menaiki kereta. Siang hari, kereta begitu sepi. Aku bisa duduk dan merasakan ac yang sangat dingin. Tapi kalau di jam pulang atau berangkat kerja, jangan harap bisa duduk di kursi. Rasanya, untuk bernafas saja sulit. Tangan pun tidak bisa digerakkan, ya tapi itu adalah pengalaman indah ku yang bisa ku ceritakan kepada anak-anak ku kelak. Bahwa ibunya, dulu pernah susah payah untuk bisa berangkat mencari ilmu. Walaupun aku masih ragu apakah  aku benar-benar mencari ilmu.
Lelah yang tak karuan dan pulang di jam yang tidak menentu, membuat Mama selalu bertanya setiap hari. Kenapa aku sudah pulang jam segini? Atau kenapa kok telat sekali? Atau kenapa kok balik lagi? Ya hal yang sering aku lakukan ketika aku berangkat jam setengah 7 pagi dan kembali ke rumah pukul 8 pagi. Mama yang sedang beres-beres rumah terkejut anaknya pulang dalam waktu singkat. Ya karena, di pertengahan jalan, aku berhenti di persimpangan, membuka chat grup dan ternyata dosen tidak masuk. Lokasi ku tinggal 30 menit lagi menuju kampus. Rasanya sudah buang-buang waktu dan tenaga karena macet dimana-mana, buang bensin pula. Saat itu aku menggunakan sepeda motor. Aku putar arah dan kembali ke rumah. Dengan perasaan jengkel yang tak karuan. Dosen itu niat mengajar atau tidak sih? Atau hanya terpikirkan uang yang sudah dijamin oleh pemerintah? Sekalipun sibuk, setidaknya pahamilah mahasiswa yang sedang berjuang untuk berangkat ke kampus. Apalagi yang jauh dan yang memilih untuk pulang pergi.
Aku hanya mampu bertahan 2 Minggu pulang pergi menaiki kereta. Karena harus berdesak-desakkan dan membuang waktu yang sangat lama, aku memutuskan untuk menge-kost saja. Bersama kawan ku semasa SMA. Ia kost sendirian dan katanya mahal. Jika berdua pasti akan murah. Dan aku pun lelah jika harus naik kereta setiap harinya. Apalagi menuju bulan musim hujan. Hari Jum’at teman ku berkabar soal kost-an dan Minggu nya aku langsung pindahan. Ayah mengizinkan karena ia tau bagaimana anaknya yang kelelahan pulang pergi naik kereta. Belum kalau hujan. Biasanya di hari Minggu Ayah mengajak jalan-jalan, tapi aku lebih memilih untuk tiduran. Mood ku jadi berantakan. Karena di rumah pun aku harus tetap mengerjakan tugas yang bejibun, padahal dosennya sering tidak hadir. Akhirnya aku memutuskan untuk kost. Mama sedih tak karuan. Tapi mau bagaimana lagi. Saat itu juga hanya mengutamakan rasa lelah ku dan tidak bisa berpikir dengan baik.
Aku mengekost hanya seMinggu. Aduh malu sekali. Bukan karena tidak nyaman dengan hidup sendiri. Sejujurnya, aku senang-senang saja, saat adzan Subuh berkumandang, aku segera shalat subuh dan membangunkan kawan ku yang tidurnya lucu. Habis Subuh biasanya kami mengobrol sebentar lalu tidur lagi dan bangun kembali pukul setengah 7 pagi. Gantian memakai kamar mandi dan dandan bersama di kamar. Berangkat bersama pula ke kampus. Itu kalau aku masuk pagi jam 8. Tapi kalau aku masuk siang, biasanya jam 7 pagi aku mencari sarapan ke luar. Entah nasi uduk atau nasi kuning. Kemudian beli susu kotak dan makan di kost-an. Kost an ku sangat adem dan aman. Aku membawa motor ke kost-an. Parkiran luas dan kamar ku pun nyaman. Kamar mandi pun bersih sekali, air selalu penuh. Tapi…tetangga kost an nya sangat individualisme. Sepi. Aku sarapan sambil mengerjakan tugas ditemani suara mengaji dari handphone. Kawan ku yang satu kost dengan ku pun adalah wanita yang cinta kebersihan, suka beberes dan sangat persis dengan ku…aku benar-benar nyaman. Tapi ada hal yang membuatku tidak betah. Hal menyeramkan yang tidak bisa ku ceritakan.
Ketika memutuskan untuk tidak kost lagi, teman ku itu pun juga pindah. Teman ku pindah di hari Jum ‘at sebelum awal bulan tiba. Dan aku pindah di hari Minggu nya. Teman ku tidak kuat kost disana karena yang punya sangat galak. Marah-marah setiap harinya. Dan ternyata dia pun merasakan hal yang sama mengenai cerita seram yang ku alami.
Lagi dan lagi, aku merepotkan Ayah ku. Membuang-buang uang Ayah ku. Aku benar-benar merasa tidak berguna. Buat apa aku kuliah seperti ini. Keraguan yang menghancurkan semuanya. Seperti roda yang diputar ditempat. Roda itu berputar tapi tidak kemana-mana. Aku ini…mau jadi apa? Dan ikhlaskah aku menjalani hari-hari ku? Aku sempat terpikirkan untuk mengikuti test SBMPTN lagi. Tapi…uang Ayah akan keluar untuk ke sekian kali. Aku tidak mau. Stress menghampiri ku. Seakan di dunia ini, hanya aku yang mendapatkan ujian terbesar, padahal ada Allah yang Maha Besar. Tapi aku tidak menyadarinya.
Jika dipikir-pikir, dibalik stress yang ku alami, ternyata ada sesuatu yang mengisi hari-hari. Tatapan yang tak sengaja ketahuan oleh kedua mata ku. Walaupun saat itu aku masih dalam keadaan tidak peduli sama sekali. Mungkin karena stress ku yang berat, aku jadi tidak begitu menganggap orang lain penting dalam hidupku. Hanya sahabat ku yang ku rasa mereka sangat berharga. Sahabat yang selalu ada untuk ku. Kemana-mana kami bersama.

***

Di Atas CintaWhere stories live. Discover now