Answer

26 0 0
                                    


Tepat di suatu hari Kamis, entah pertemuan yang ke berapa dan di tanggal berapa. Hari kamis dan Jum ‘at adalah hari favoritku se-masa kuliah. Dimana hari Kamis pagi, mata kuliah favoritku hadir disaat mata dan pikiran masih sangat fresh. Ya, Pengantar Pendidikan. Ada beberapa ilmu psikologi didalam sana. Membahas bagaimana menghadapi anak berkebutuhan khusus dan lainnya. Menarik sekali. Aku selalu datang rajin walau masih sering telat. Dosen nya pun sering telat karena rumah dosen tersebut lebih jauh dari rumah ku. Biasanya Dew, atau Dwi sudah siap siaga menempatkan tempat duduk untuk ku. Tempat biasa yang selalu menjadi wadah ku untuk menyerap ilmu Pengantar Pendidikan adalah baris ke 3 dan kursi paling pinggir. Entah untuk ke berapa kalinya, aku tidak ingat sama sekali. Yang jelas masih di bulan yang sama saat mahasiswa baru masuk universitas tersebut. Tiba-tiba saja, sosok laki-laki datang menyeret bangku dan menaruhnya tepat disampingku. Seharusnya aku yang paling pinggir, tapi ketika ada kursi itu disamping, aku jadi berada ditengah-tengah. Ia meletakan kursi tersebut disampingku dengan jarak yang cukup banyak. Biasanya untuk para akhwat, pasti merapatkan kursi sehingga kami bisa saling menyender jika jenuh. Tapi karena ia tau bahwa aku dan dia bukan muhrim, maka ia beri jarak diantara kursi tersebut.
Aku hanya ingat beberapa. Karena hampir di setiap hari Kamis, pasti ada dia duduk disampingku…lagi dan lagi. Padahal dibarisan itu akhwat semua dan tidak ada satupun laki-laki baik didepan atau dibelakangnya selain dia seorang. Awalnya aku tidak menyadari dan biasa saja. Ya biasa saja. Sampai ada satu momen dimana sang dosen memutar film anak berkebutuhan khusus yang di didik oleh seorang guru dengan hati yang luar biasa hebat. Anak tersebut tidak bisa melihat, mendengar dan berbicara. Bayangkan. Perilaku nya seperti hewan, makan tidak karuan dan berontak jika yang diinginkannya tidak dikabulkan. Orang tuanya membiasakan untuk terus memberinya, memanjanya karena rasa kasihan kepada anaknya sendiri. Tidak ada satupun guru yang kuat mengajarnya. Namun, di film tersebut, seorang guru itu mampu membuat si anak bersikap lebih baik. Dengan kesabaran ekstra. Bahkan kami yang menontonnya pun ikut gemas kepada si anak. Emosi dan tidak sabaran rasanya melihat kelakuan anak tersebut. Tapi di bagian endingnya, si anak berubah drastis karena didikan sang guru yang luar biasa hebat. Kami semua terharu. Dan aku ingat betul, saat itu…aku menangis. Aku bertopang dagu dengan tangan kanan ku. Dimana disebelah kanan ku ada dia yang sedang duduk rapih menatap layar TV.
Aku adalah wanita yang mempunyai perasaan sedikit sensitif. Dan pasti menangis jika menonton film sedih. Apalagi film itu membuat haru yang tak kunjung pudar hingga film benar-benar berakhir. Mungkin dia melihatku mengusap air mata dengan lengan baju batik yang ku kenakan. Dan disaat film benar-benar habis, semua mahasiswa yang ada didalam kelas tepuk tangan dan mengucapkan…
“Ya Allah akhirnya…”
“sedih banget”
“terharu ih”

Perihal menjadi seorang pendidik. Bukan hanya orang-orang yang berlatar belakang pendidikan luar biasa saja yang harus mampu mengajar anak-anak berkebutuhan khusus. Seluruh mahasiswa atau orang-orang yang berlatarbelakang pendidik, maka harus punya ilmu nya dalam mengajar anak berkebutuhan khusus. Mereka butuh seorang pendidik, bukan pengasuh. Betapa mulianya seorang guru yang benar-benar melakukan tugasnya untuk mengajar dan mendidik generasi terdepan.
Pernah di hari Kamis juga, sang dosen sedang membahas faktor-faktor yang memengaruhi pendidikan. Di layar, tertulis faktor sosial dapat memengaruhi pendidikan di sekolah. Kemudian sang dosen berkata,
“kalau ada yang gak ngerti, yuk boleh ditanyakan”
Satu, dua, hingga tiga orang mengangkat tangannya. Sambil mendengarkan secara seksama pertanyaan mereka, aku juga menulisnya di binder untuk dijadikan bahan pembelajaran. Tidak lama kemudian, bertambah satu orang lagi yang bertanya.
“oh ya Mas nya? Namanya siapa?”
“Arkarna Azfar, Pak…”
Aku mendengak melihat ke arah samping. Ternyata yang angkat tangan adalah dia.
“saya masih belum paham Pak sama maksud dari faktor sosial. Kenapa sosial itu termasuk faktor yang memengaruhi pendidikan?”
“nah baik…untuk pertanyaan Mas Arkarna ada yang bisa bantu jawab? Bantu saya jawab ya, ayo di persilahkan yang mau bantu jawab, angkat tangan nya. Oh iya sementara menunggu ada yang mau membantu saya menjawab pertanyaan Mas Arkarna, saya izin buka handphone dulu ya…ingin baca pesan Karena urusan penting. Boleh?”
“iya boleh, Pak” jawab kami serentak.
Menurutku, Arkarna bukan bertanya, tapi meminta untuk dijelaskan lebih detail. Aku ingin sekali membantunya karena aku mampu menjelaskan nya untuk yang satu itu. Tapi malu rasanya jika aku angkat tangan. Karena kami bersebelahan. Bagaimana kiranya, Arkarna tidak paham materinya, kemudian yang disampingnya tidak memberitahu secara personal? Sepertinya lebih baik aku memberitahunya secara personal saja. Biasanya kalau bersebelahan suka saling mengobrol atau bercerita kan? Karena itu bukan yang penting untuk aku dan Arkarna lakukan, jadi aku tidak salah kan jika berkewajiban untuk membantu menjelaskan kembali materi yang belum ia pahami?
Akhirnya, memberanikan diri untuk sedikit merapatkan tubuh ke sampingnya. Sedikit berbisik dan menjelaskan secara singkat.
“jadi tuh, faktor sosial disini dimaksudnya gimana ya…biasanya kalau anak-anak sekolah itu kan pasti didalam kelas mereka bercanda, atau ngobrol bareng atau bahkan bercerita. Nah dari situ, timbulah komunikasi diantara mereka…dengan adanya komunikasi tadi, muncul lah sosial didalam kelas. Kelas itu wadah dalam pendidikan kan? Nah makanya faktor sosial itu memengaruhi pendidikan. Arkarna sudah paham?” penjelasan ku panjang lebar sampai sambil menunjuk ke arah layar tulisan dan dengan suara yang sangat pelan. Ia mengangguk perlahan tapi masih penuh keraguan.
“iya sudah ya, ternyata ada yang mau membantu menjawab secara pribadi…” sang dosen melirik ke arah kami. Semua teman-teman pun juga. Degggggggg. Rasanya malu sekali. Aku langsung berposisi seperti pertama kali duduk. Ku lihat kawan-kawan senyum-senyum melihat kami. Entahlah. Ia juga senyum dan menunduk memegang pulpen ditangannya.
“sudah paham Mas Arkarna?”
“e…e…masih belum, Pak”
“eeaaaaaaaa” seruan datang dari satu kelas.
Mungkin penjelasanku tadi terlalu pelan, sehingga ia tidak paham betul maksudnya. Hihihi semoga saja bisa menjawab segala keraguan ia dalam memahami materi tersebut. Semoga…
Hingga Kamis menjadi bagian dari kebersamaanku dan dia sementara. Sampai berita muncul didalam kelas. Berita yang tak pernah diduga sebelumnya.
Jum ‘at, mata kuliah pendidikan agama islam dijadwalkan bersama mahasiswa yang berbeda fakultas. Aku sekelas dengan berbagai macam jurusan di kampusku itu. Dan hanya beberapa saja anak kelas pendidikan ekonomi yang sekelas denganku dimata kuliah umum. Hari menenangkan, karena aku dan dia berbeda kelas juga dosen bahkan berbeda gedung pula.

***

Di Atas CintaWhere stories live. Discover now