Hijrah

8 1 0
                                    


Hijrah kusebutnya, kali ini yakinku menjadi keputusan. Dan keputusan itu didukung dengan do'a orang tua dan mimpi aneh berjudul, "pulpen". Aku yang memberi judulnya.

Kali ini, yakinku kata, aku bisa meraih impian besarku menjadi seorang pembelajar ilmu psikologi. Menjadi perwakilan dosen psikologi Indonesia di peringatan Hari Anak Internasional di Firlandia. IP ku yang menjadi keberuntungan di kampus negeri, ingin kubuktikan bahwa IP itu benar nyata hasil usaha ; bukan lagi keberuntungan. Yakinku tak bisa dijelaskan secara lebar mengapa tiba-tiba hatiku katakan hijrah. Ya. Aku yakin hijrah. Tinggalkan kampus negeri yang sampai detik ini masih menjadi kampus impianku sampai akhir hayatku.

Aku diberi sakit saat terakhir masuk kuliah. Siapa yang tau jika itu hari terakhirku kuliah di sana? Aku sakit di saat ujian praktek menghampiri. Ayah bilang, "hari ini gak usah masuk dulu. Istirahat sampai sembuh. Izin sama dosennya, Ra."

Dengan sakit, aku berpikir panjang soal diri. Tugasku menumpuk, ujian banyak yang susulan, hatiku masih dalam keterpaksaan. Kalau terus seperti ini, kapan tugasku selesai? Masa depan model apa yang akan menjadi nyata? Akankah aku dapat sebarkan manfaat dari ilmu yang kutimba? Aku merasa tak berguna. Sebab, celah kecil pun tak kulihat dari sana. Lihat impian yang dulu tertera. Ilmu ku akan berguna atau tidak? Sebelum ke sana, apakah aku bisa menuntut ilmu di bidang ini bersama rela? Pening kepala pikirkan hal itu semua. Hingga kutemukan mimpi berjudul Pulpen.

Bibir kelu tuk utarakan ingin hijrah. Uang yang sudah dikeluarkan dari pertama lulus SMA sampai semester 2 begitu banyak terbuang. Setahun ku gunakan uang Ayah untuk jurusan yang ternyata membuatku terpaksa melakukan. Aku takut Ayah marah. Hijrahku pasti. Mama menyetujui. Sudah kurangkai kata demi kata untuk sampaikan pada Ayah soal pindah kampus. Lalu, Allaah bantu aku dengan sejuta kehebatan-Nya. Baru saja aku duduk di ruang tamu saat Ayah sedang bersantai, tiba-tiba Ayah berkata, "Ra, Ayah punya teman kaprodi psikolog di univ A." Allaahuakbar. Allaah selalu berikan hal yang kita butuhkan. Langsung segera ku tanyakan,

Aku : "Lho? Emang boleh aku pindah?"

Ayah : "Lho? Emang kamu mau?"

Aku : "Mau!!!", kata ku semangat.

Ayah : "Ayah serius, Ra."

Aku : "Iya, Rara juga serius, Yah. Ayah emangnya ngizinin aku ninggalin kampus negeri?"

Ayah : "Sebenernya kamu kuliah itu untuk apa? Karena negerinya? Atau ilmunya?"

Sekian detik terlewati dengan keheningan. Aku tak mampu menjawabnya. Bukan karena tidak tau jawabannya, tetapi karena aku takut mengecewakan hati Ayah. Sebab ...

Aku : "Ka...karena...negerinya, Yah. Aku ngerasa kuliah di sana ga berarti apa-apa untuk aku. Impianku punah dengan mata kuliah yang enggak banget buat aku."

Ayah diam dan 3 hari kemudian, Ayah bawakan berkas-berkas pendaftaran di kampus A tersebut. Aku telah mengecewakannya, aku menangis tak karuan, apakah keputusan ku ini merugikan orang lain? Mama selalu menyemangati bahwa segala rencana yang kubuat hanya aku yang menjalankan. Jika aku yakin akan pilihan, orangtua hanya bisa mendukung dan mendo'akan.

Setiap hari selalu kutanya pada Ayah, apakah malu? anaknya keluar dari kampus negeri? Dan Ayah selalu menjawab "Buat apa malu? Yang memalukan buat Ayah adalah saat memiliki anak yang tak bisa bermanfaat untuk orang lain. Yang tidak bisa mendapatkan ilmu dari uang yang Ayah keluarkan."

Ayah...telah mengajariku soal realita dalam hidup. Betapa ilmu jauh di atas segalanya. Untuk apa aku dapatkan gelar negeri jika tak ada yang bisa kubagikan kepada murid-muridku kelak?

Di Atas CintaWhere stories live. Discover now