Aku Ingin Traveling Bersamamu

23 1 0
                                    

UAS tinggal menghitung hari. Bagaimana persiapannya? Jangan ditanya. Lagi-lagi akuntansi hanyalah sebuah hoax jika aku benar-benar mempersiapkannya. Semakin memaksa otak untuk bisa mengerjakan, semakin otak berkata tidak untuk belajar. Hal-hal yang berbau bacaan masih bisa dibilang Alhamdulillah. H-4 UAS, aku ingin rasanya mundur ke belakang. Pecundang memang. Sudah menuju akhir, baru ingin berhenti. Mengapa tak berhenti dari awal saja? Kepalaku sakit memikirkannya. Aku benar-benar lelah menjalani hari-hari yang tak pernah kuharapkan; bertemu mata kuliah hitungan.
Saat itu panas terik sekali. Setiap hari selalu saja ramai akan sebuah acara di kampus. Ketika yang lain sudah pada pulang dan keluar dari kelas, aku stay di dekat jendela dengan kaca yang sangat besar. Memandang langit dengan dalam. Langit cerah, apakah kamu tidak mau membagi kecerahanmu itu pada jiwa ku yang sedang kelam ini?
Rani : “Ra, tumben belum balik?”
Aku : “ah iya, lagi mandangin langit”
Rani : “cerah banget ya langitnya” *sambil mengambil kursi untuk ikut bergabung memandang langit*
Aku : “Ran, kita beneran UAS tanggal segitu?”
Rani : “hmmm…mich…gimana ya, padahal kita belum siap banget loh. Materi masih banyak banget yang belum dikejar. Dosen jarang masuk pula.”
Aku : “sama” kata ku dengan nada dan wajah yang hanya terfokus pada langit
Rani : “lu kenapa Ra? Lagi ada masalah? Atau… masih belum nyaman?”
Aku : *tersenyum* “rasanya pengen udahan aja Ran”
Rani : *menarik nafas panjang* “Ra, tau gak? Dulu gua juga sama kayak lu. Di kampus yang gak gue nyamanin. Di kampus yang gak pernah menjadi kampus impian. Tapi tahun ini malah dapet rezeki lolos ujian mandiri di kampus impian, ketemu sama kalian, ketemu sama temen-temen seperjuangan ujian mandiri. Lu udah liat aspek lainnya?”
Aku : *menengok ke arah Rani*
Rani : “kadang ya Ra, ketidaknyamanan bisa mendominasi kenyamanan yang telah ada. Jangan gegabah. Usaha dulu aja. Ini udah hampir finish loh. Semester 2 kan mulai konsentrasi. Lu niat ambil adm perkantoran kan? Banyak bacaan disana. Seperti yang lu planningin di awal.”
Aku : “aku bahkan gak bisa mengendalikan emosional aku sendiri Ra, yang dirasa cuma lelah dan kebayang-bayang sama impian yang pernah kau ukir di proposal hidup.” *tidak lama air mata menggenang*
Rani : “kecintaan lu sama psikologi kuat Ra, mungkin saat pendaftaran, lu terlalu gegabah memilih jurusan kedua.”
Aku : “aku kangen Ra, kangen bisa menggapai apa yang memang menjadi diri aku”
Tiba-tiba Dwi datang dengan membawa 3 bungkus nasi goreng

Dwi : “eh diem-diem aje, gue bawa nasgor nih. Eh kok…lu kenapa Ra?” ia melihatku dan langsung menarik kursi untuk duduk bersama.
Rani : “lu beli banyak amat”
Dwi : “buat kita iniiii. Makan…makan…laper jadi ganas lu”
Rani : “hahahaha ini seriusan ini?”
Dwi : “makan udeh makan. Makan Ra. Lu kenapaa? Cerita”
Rani : “ya ini lagi cerita, lu segala dateng hahahahaha”
Dwi : “eh jahat ye (”
Aku : “repot-repot banget lagian segala beli nasgor hahaha, di bawah rame Wi?”
Dwi : “rame bet, tau ga si di lapangan deket perpus ada stand travel gitu. Nanti kesitu yuk”
Rani : “ada stand korea gak?”
Dwi : “lu lagi, korea mulu. Ada sih keknya”
Aku : “mau liat oppa ya Ran? Eh ini nasgor di mana Wi?”
Dwi : “tempat biasaaaa, mumpung masih panas sini makan ah”
Aku dan Rani langsung mencubit pipinya sampai merah. Dwi, tanpa kamu, tak ada canda tawa.

Kami menghabiskan nasi goreng yang dibelikan Dwi, sampai tak sadar sudah pukul setengah 11. Langit semakin cerah dan panas semakin membakar. Terdengar suara band yang bernyanyi di plaza. Rani dan Dwi adalah 2 orang yang sudah kukenal semenjak ospek pertama kali hadir dalam hidup. kemudian satu kelas. Kemudian sama-sama berasal dari kota yang sama. Sama-sama menaiki motor jika berangkat atau pulang kuliah. Sama-sama dalam banyak hal. Tanpa Dwi, aku tak akan bisa akuntansi. Tak akan bisa mengcopy paste tugas lebih tepatnya. Tanpa Rani, aku tak akan bisa memiliki pola pikir yang dewasa. Tak akan bisa dibantu tentang kurva. Tak akan bisa bertanya jawaban lebih tepatnya. Yah karakter mereka amat berbeda. Satunya ramai, satunya diam. Aku? Aku bisa dikeduanya. Hihi. Tanpa Dwi, tidak akan ada bumbu-bumbu tawa dan canda. Tanpa Rani, tak akan ada yang menemani kelengkapan diskusi bersama, Rani lah yang punya banyak masukan dan pendengar keluh kesah.

Dwi : “emang lu lagi kenapa Ra? Masih belum ikhlas?”
Aku : “bingung, aku takut. Takut kalau misalkan ada mata kuliah yang ngulang. Aku gak sanggup ngulang mata kuliah yang sama sekali gak aku suka. Apalagi tanpa temen-temen di kelas.”
Dwi : “yah enggalah. Lu gak bakal ngulang. Tugas kan ngerjain terus”
Aku : “tapi tugas itu gak menjamin aku bisa Wi. Tau kan? Banyak dosen yang bergantung sama nilai ujian?
Dwi : “ya iya sih, gini loh Ra. Ini belum ending. Lu masih bisa usaha”
Aku : “H-?”
Dwi : “em…pat… iya sih ya. Ini tuh jadwalnya dicepetin tanpa kita tau loh. Sengaja supaya tahun baru udah libur. Padahal harusnya Januari kita baru UAS.”
Rani : “tau dah, tugas aja gua belum kelar”
Dwi : “lu tapii jago Ra sama mata kuliah yang lain, lu unggulin nilai lu disitu”
Rani : “kita gak kayak sekolah Wi, nilai satu bisa bantu nilai yang lain. IP selamat, tapi kalau satu matkul ada yang D ya tetep ngulang”
Dwi : “*menghembuskan nafas*  iya juga sih. Atau Ra, lu gak nyoba cari tau buat pindah fakultas aja?”
Aku : “bisa emangnya?”
Dwi : “bisa lah, tapi ya jatuhnya ngulang sih. Lu ikut ospek lagi. Mata kuliah kita juga kan gak ada yang nyambung sama psikologi.”
Rani : “pilihan sih Ra, kalau lu mau nyoba, kenapa engga? Tapi yang jelas, untuk sekarang, lu perjuangin dulu buat UAS. Sebisa lu, selapang hati lu aja.”
Dwi : “UAS cuma seminggu Ra, tenang aja. Abis ini kita travelling deh biar lug a banyak pikiran.”
Rani : “hah? Travelling kemane?”
Dwi : “noh acara di bawah hahahahahhaha”
Rani : “ketemuuu oppaaaaaaa”
Aku hanya terdiam sambil tersenyum melihat kelucuan mereka. Ya. Mereka benar. Aku masih harus berusaha. Kemudian kami turun dan melihat stand travelling di bawah. Ramai sekali dan pastinya panas banget banget. Kami berfoto-foto, melihat baju hanbeok yang begitulah tulisannya. Banyak informasi soal negara. Ada 12 negara yang terpampang di stand tersebut. Melihat satu per-satu negara, membaca informasinya, keindahan alamnya, dan yang paling unik adalah Namsan Tower Seoul, South Korea. Seperti Monumen Nasional yang terletak di atas gunung. Memiliki ketinggian yang bermeter-meter dari puncak gunung. Untuk bisa memasuki Namsan, harus menaiki sebuah kereta gantung yang menanjak ke pegunungan. Seluruh kota Seoul terlihat disana. Kemudian setelah sampai di Namsan Tower, harus menaiki lift untuk bisa ke puncak Tower. Dengan kecepatan dalam detik dan berbackground langit di atap liftnya. Seperti sedang diajak terbang ke angkasa. Ah impian sekali. Bisa kesana bersama suami dan anak-anak. Bersama impian yang lagi-lagi setiap dengar kata impian, maka pasti akan ingat dengan jurusan yang didambakan. Bodoh.

***

Di Atas CintaWhere stories live. Discover now