Soal Anak

22 2 0
                                    

Hari cerah sekali, tapi karena gabut jadi rasanya ingin pulang segera terus tidur di rumah. Terik sekali siang itu. Lagi-lagi, stay di perpus lantai 5 adalah tempat paling aman untuk bisa selonjoran. Lantai 5 bukan hanya berisikan meja besar dan meja-meja kecil untuk diskusi. Tapi juga menyediakan tempat lesehan untuk para mahasiswa yang ingin berdiskusi dengan jumlah anggota yang banyak. Sayangnya, demi kebersihan, tidak boleh ada makanan ataupun minuman di dalam. Tapi aku selalu berhasil membawa Tupperware kesana. Hihi. Tanpa air, aku bisa apa?
Lagi-lagi dosen berhalangan hadir. Bersabarlah mahasiswa! Aku duduk bersama kawan-kawan kelasku yang lain. Begitu juga lelakinya. Ada yang sedang dikejar tugas. Dikejar presentasi mku. Ada yang bahkan bersantai ria karena ia sudah selesai semua. Mustahil rasanya jika aku tak melihat sosok Arka dalam satu hari. Terkecuali saat aku sedang tidak masuk atau hari libur. Ia duduk agak jauh dari tempat aku bersandar. Memakai jaket biru yang agak tebal. Kami bersandar pada dinding yang sama. Hanya dibatasi jarak 3 langkah kaki ke sebelah kanan. Aku tak memandangnya. Aku hanya fokus mengobrol bersama kawan. Hingga kejenuhan tiba. Akhirnya aku segera turun ke lantai 3, dimana banyak buku yang bertebaran indah disana.
Sudah jelas, aku akan menghampiri buku bagian psikologi. Banyak mahasiswa yang bahkan sedang menulis skripsi disana. Jadi, perpustakaan lantai 3 itu adalah khusus buku dan di sepanjang dinding pojok, terdapat meja dan kursi yang dibatasi per-orang. Biasanya itu diduduki oleh mahasiswa yang sedang kejar skripsi. Tidak boleh bersuara sedikitpun. Aku mencari-cari apa yang ingin kubaca. Kesalnya, masih maba. Jadi belum dapat kartu pinjam perpustakaan. Kemudian aku mendapatkan satu judul yang menarik. Judulnya, *Belajar Mendengarkan Agar Didengarkan*. Buku tersebut karya psikolog ternama di luar negeri. Bahkan sudah berapa kali cetakan. Dan buku tersebut banyak gambarnya, dimana kau tau? Setiap manusia akan sedikit lebih melek membaca buku yang ada gambarnya ketimbang membaca buku yang hanya berisikan tulisan. Dan satu lagi buku soal anak juga tapi bertema islami.
Ku bawa 2 buku tersebut ke lantai 5. Disana kubaca dengan serius tapi juga sambil berbincang dengan kawan. Ada yang tiduran, ada yang bergosip, ada yang sibuk instagraman. Kulihat posisi Arka masih sama. Bersandar disana. Cukup lama aku membacanya. Aku membaca buku soal anak yang bertema islami terlebih dahulu. Sampai setengah dari jumlah halaman buku tersebut, aku bangkit untuk shalat dzuhur di mushola yang ada di lantai 3. Buku itu kuletakkan di atas buku ekonomi ku. Aku yakin tidak akan ada yang mencuri. Hihihi. Hanya handphone yang aku bawa. Kedua buku perpus, buku ekonomi ku, binder, bahkan tempat minum ku, ku letakkan disana. Arka masih tetap dalam kondisi yang sama. Apa ia membeku? Hihi dia bukan es batu. Walaupun sikap diamnya itu sama seperti es. Dingin. Dingin sekali. Sampai-sampai aku menggigil karena gemas.
Usai shalat, aku kembali ke tempat. Ia berubah posisi. Dari senderan menjadi duduk sila seperti sedang istighfar usai shalat. O! ia meletakkan buku ku sambil tersenyum. Kemudian bangkit dan turun ke bawah, mungkin ingin shalat. Aku kebingungan. Kulihat posisi buku ku berubah. Bagaimana tidak berubah, buku itu baru saja terpegang oleh Arka. Aish, benar-benar manusia aneh. Aku tak mengapa ia membaca buku itu, tapi kenapa bersikap seakan benar-benar bisu begitu? Ah, kalau dia izin ingin membaca pun, aku pasti juga deg-degan. Tapi kan, aku…hah. Susah menjelaskannya. Bahkan saat ia bangkit, ia tak memandang ku sedikitpun, boro-boro bilang suatu hal. Ya, ini adalah kelu yang sulit dijelaskan. Arka!!!!!!kenapa kamu sungguh menggemaskan!!!???? Hmmmm?!!!
Aku kembali membaca sampai Arka juga kembali ke lantai 5. Mukanya pucat. Aku baru saja benar-benar memandang wajahnya. Apa ia sedang tidak enak badan? Aku tertunduk diam tak mau tau. Ia kembali bersandar di tempat yang tadi. Dan tiduran dipojok, Akbar dan Maulana mengepuk-ngepuknya.
“jangan disini Ka, deket AC, dingin”
Ah benar, ia sedang sakit. Baiklah, sudah kesekian kali ia sakit. Aku hanya melihatnya sekilas dan dia memejamkan matanya. Teman-temanku yang lain bilang Arka sedang tidak enak badan. Bagaimana tidak? Ia makan dengan jadwal yang berantakan, tugas yang terus berceceran, dan juga aktif di beberapa kegiatan. Aku diam saja. Kemudian melanjutkan membaca buku tersebut. Sampai selesai satu buku, sampai kulihat Arka bangun dari tidurnya, aku baru bangkit untuk bergegas pulang. Saat itu sudah pukul setengah 2 siang. Arka bangun dan duduk bersandar pada dinding seperti posisi pertama kali. Aku berpamitan satu per satu dengan seluruh kawanku. Tapi lidah ini……….masih saja kelu untuk ucapkan pamit padanya. Entah kenapa. Aku pulang bersama Rani yang juga parkir motor di tempat yang sama. Kemudian saat semua sudah lengkap bersalaman, Vina meledek.
Vina : “Lah, Ra, kok sama yang ini gak pamitan sih?” Vina mengatakan itu sambil tersenyum meledek.
Wajahku merah padam! Ah malu sekali. Aku menatapnya tak sampai sedetik kemudian hanya tersenyum dan…
Aku : “hehehe udah ya, duluan Vin, duluan semuanya”
Kemudian Rani….
Rani : “atuh sama A’a pamit dong” sambil menyenggol sikunya ke tanganku yang sedang sibuk mengambil sepatu.
Aku : “aduh, hhhh Raniiiiiii”
Rani : “eh cepetan pamit dulu sama A’a.”
Aku : “apaa si” kataku berbisik.
Rani : “eeh ehh nggak, pamit dulu. Masa sama Arka gak pernah pamit?” Rani mengomel.
Akhirnya aku membalikkan tubuhku, ah beberapa temanku melihat aku yang sedari memakai sepatu sambil diomeli oleh Rani. Saat ku balikkan tubuhku, beberapa temanku melihatku sambil menyengir, mungkin meledek atau bagaimana lah kiranya. Arka melihatku sekilas dan langsung menunduk. Ah tidak kuat! Saat Arka menunduk, aku langsung kembali memposisikan diri pada pintu keluar. Dan…kembali membalikkan badan hanya untuk sekedar pamit pada semua yang ada disana..
“eeuuu…euuu semuanya, pulang duluan ya. Assalamua’alaikum” kataku sambil membungkukkan badan. Segera ku balikkan badan dan berjalan keluar. Rani tertawa melihatku sambil menggandeng tanganku.
Rani : “umuuuuu sama A’a malah gak pamit”
Aku : “Rannnn”
Rani : “hahahaha bercandaaa… harusnya tetep pamit atuh. Grogi gitu”
Aku terdiam karena memang bingung. Ya, seharusnya memang pamit saja. Toh kan memang berniat untuk pamit. Kalau seperti ini terus bagaimana ya. Terkesan bahwa aku benar-benar grogi. Habisnya kalau dia tidak membisu seperti itu, mungkin aku juga tak akan ikut membisu. Pokoknya, maluuu.

***

Di Atas CintaWhere stories live. Discover now