Older Than Me?

19 2 0
                                    

Sudah mepet menuju UAS, badan masih saja lemas dan justru jadi sering sakit. Tak lagi bisa dihitung berapa kali aku izin. Bahkan kuis saja susulan. Saat itu kuis susulan bentrok dengan mata kuliah pengganti. Aku bingung harus pilih yang mana. Dan bersyukurnya adalah ketika aku memilih ikut kuis susulan, ternyata dosen mata kuliah pengganti berhalangan untuk hadir. Bersabarlah wahai mahasiswa yang sering diphp-in sama dosennya. Setidaknya, tidak seperih saat kamu diputusin sama doi. Wkwkwk
Saat kuis susulan selesai, aku segera masuk ke kelas pengganti, ah ternyata sudah mulai sepi. Ada yang langsung pulang, ada juga yang sedang sibuk mengerjakan tugas. Kulihat Arka duduk di kursi dan dikelilingi kawan-kawan lain. Saat baru memasuki pintu, aku tersentak karena agak padat di dekat pintu.
Aku : “eh pada nga………….pa…in?” suaraku melambat saat kulihat ada Arka ditengah-tengah mereka.
Via : “kita lagi wawancarain si Arka nih, Ra”
Aku tersenyum kemudian langsung bergegas masuk ke dalam. Kulihat ada Dwi dan Dew disana. Dan sempat ngobrol sebentar dengan Adam di dekat papan tulis. Aku sempat mendengar satu topik pembicaraan mereka dari kejauhan.
“oh jadi awalnya lo nyoba hukum tapi gagal?”
“nyoba dimana Ka?”
“terus pas itu lu nganggur setahun dong?”
“gagal sbm 2 kali rasanya….”
“lu kenapa nekat ambil pendidikan dah?”

O? jadi Arka mengimpikan jurusan yang sempat gagal ia capai, kemudian bahkan sempat menunggu setahun untuk bisa lolos kampus negeri?berarti ia lebih tua setahun dariku?
“lu kelahiran tahun berapa sih, Ka?”
Arka : *menunjukkan ke tujuh jarinya*
Ah tidak, kami lahir di tahun yang sama.

Aku tak percaya awalnya. Hukum adalah identik dengan orang-orang yang suka bicara di depan. Dengan banyaknya hafalan dan tak ada yang namanya hitung-hitungan. Lalu mengapa ia memilih jurusan pendidikan? Ekonomi pula. Yah. Jawaban itu bisa kudapatkan kalau saja aku bisa menjawab pertanyaan itu dari diriku sendiri. Mendambakan psikologi, lalu mengapa nekat memilih jurusan pendidikan ekonomi?
Terkadang kita hanya tidak tau saja bagaimana rasanya bisa hidup pada dunia yang kosong tanpa harapan. Kita hanya bergegas untuk bisa bersantai di atas dunia yang seakan dunia adalah segalanya. Padahal pada nyatanya, kalau saja kita tau bagaimana rasanya hidup di dunia yang kosong akan harapan, mungkin kita akan lari sejauh mungkin dari bumi dan melintasi orbit planet-planet yang lain. Karena cinta dan nafsu itu memiliki letak dasar yang amat berbeda. Karena tulus dan obsesi itu jelas berbeda wilayahnya. Seperti saat melihat secercah impian. Mimpi-mimpi yang telah terukir semasa sekolah, atau bahkan semasa kecil. Kemudian sampai dewasa, impian itu tetap tumbuh dan tercover oleh usaha. Usaha gagal, membuat diri kadang melemah. Sehingga hanya berpikir “Yasudahlah apa aja. Yang penting dapat”. Andai saja usaha yang gagal menghasilkan diri lebih kokoh, mungkin akan bisa membedakan apa itu Cinta , nafsu, tulus dan obsesi. Mungkin akan bisa tetap merasakan cinta pada impian sehingga nafsu tak menguasai. Mungkin akan bisa mencintai impian dengan tulus sehingga tak terobsesi pada hal yang semu. Seperti saat seorang siswa baru dewasa, ia pikir mendapatkan jurusan psikologi adalah hal yang amat didambakan, tetapi ketika gagal berkali-kali, ia pasrah dan yasudah, hanya terobsesi pada “negeri”nya tanpa pandang jurusan impiannya yang dulu ia ukir. Padahal kalau mau bersabar pada kegagalan, mungkin jika memang akhirnya jurusan impian tak bisa didapatkan, setidaknya diri tak terobsesi atau nafsu pada duniawi. Setidaknya diri tidak gegabah dalam memilih jurusan pilihan kedua. Jika memang sudah terlambat, yasudah mau diapakan?
Ku kira hanya aku lah satu-satunya manusia yang merasa amat salah dalam memilih jurusan. Ternyata Arka juga. tapi ia memang berniat baik di jurusan ini. aku begitu awalnya. Tapi semakin hari semakin tak yakin. Tak yakin pada diri, akankah bisa menjadi baik disini? Aku harus bisa meraih impianku. Menjadi salah satu perwakilan dosen psikologi Indonesia yang hadir di perkumpulan perayaan Hari Anak Internasional di Irlandia. Mustahil memang. Tapi itu impian. Manusia berhak berencana bukan? Begitu juga kamu, Ka. Kamu berhak meraih impianmu untuk bisa bicara di depan banyak orang tanpa rasa malu dan deg-degan atau bahkan kamu bisa meraih impianmu untuk bisa menjadi hakim yang jujur dan adil di negara tercinta, Indonesia. Kita bisa kok, Ka. Kita bisa. Aku bahkan bersedia menjadi pendukung internal mu untuk menggapai impianmu itu. Tapi pendukung internal dalam do’a.
Kalau ingin lebih dari do’a juga…
…………………………………………..



aku bersedia.

***

Di Atas CintaDonde viven las historias. Descúbrelo ahora