DUA. Rindu

23.4K 1.3K 3
                                    

Amira bersyukur karena masih memiliki kedua orang tuanya. Tidak bisa ia bayangkan jika keduanya juga akan pergi meninggalkan dirinya sendiri yang tidak memiliki siapapun di sini kecuali mereka.

Amira meneguk air putih setelah makanannya habis. Diliriknya kursi yang berada di sebelahnya. Dadanya terasa sesak. Mengingat saat seseorang yang selalu duduk di sana beberapa tahun yang lalu. Ia sangat merindukan kehadiran sosok itu.

Dari gesture dan tatapan hampanya Amira, ibunya tahu jika putrinya itu sedang mengingat sosok yang juga sangat dirindukannya.

Ibunya mengulum senyum. Senyum hampa. "Biarkan dia bahagia di sana. Dia nanti sedih ngelihat kamu yang bersedih karena kangen dia."

Amira mengulas senyum. Meskipun senyum paksaan. "Amira juga berharap kayak gitu. Dia harus bahagia di sana."

"Makanya kamu harus berhati-hati biar kejadian itu gak terulang lagi sama kamu. Ayah gak mau kalo harus kehilangan kamu juga Amira," tambah ayahnya Amira setelah meneguk setengah gelas air.

***

Banyak makanan enak yang tersedia di atas meja. Kadang Althaf lebih memilih untuk makan di luar daripada makan di rumah. Ia benci sendirian di sana. Ibunya, ayahnya, dan abangnya. Mereka semua sibuk. Jarang sekali ia merasakan kehangatan sebuah keluarga.

Malam ini terlihat mendung. Sepertinya hujan akan turun tidak lama lagi. Althaf meraih ponselnya di nakas, lalu menelpon seseorang.

"Woi! Dimana lo, Van?" tanya Althaf ketika orang yang diteleponnya itu menerima sambungan darinya.

"Gue lagi di bar sama si Alif nih."

Althaf menjauhkan ponsel dari telinganya akibat suara riuh di seberang sana.

"Bisa ke rumah gue, gak?"

"Lo aja ke sini!"

"Gue udah tobat. Cepetan deh ke sini!"

Althaf mematikan telpon sepihak tanpa menunggu jawaban Revan terlebih dahulu. Tak lama, kedua temannya itu pun datang ke rumah Althaf.

"Rumah lo gede. Tapi gue kok merinding ya." Revan duduk di sofa ruang tengah rumahnya Althaf. "Jangan-jangan banyak setannya, ya."

"Sepi amat rumah lo," timpal Alif yang barusan masuk dan segera duduk di samping Revan.

"Iya, kek hati lo," balas Althaf dengan tangan sibuk berselancar di layar ponselnya.

"Dih!" kesal Alif.

"Mabar yuk, Thaf! Gabung gih sama kami," ajak Revan dengan mata tetap terfokus pada layar benda persegi miliknya itu. "Jangan sibuk nonton bokep."

"Siapa juga yang nonton begituan. Gue enggak kayak lo, ya! Hobinya nonton video ples-ples terus ngelirik cewek seksi di kelab malam. Gue lapor ke cewek lo, ya!"

Mendengar itu, Revan malah terkikik geli. "Lo kan juga hobi ke kelab malam, bego. Sok pakek ngelapor lagi. Hei, sadar diri. Otak lo itu penuh dengan hal kotor juga. Dasar manusia!"

"Hobi dari pantat lo? Enak aja, gue udah tobat kali," sanggah Althaf cepat.

Lagian emang benar jika Althaf tidak pernah ke kelab malam lagi. Taubat, maybe. Alasan lain adalah karena orangtuanya akan mencabut semua fasilitas yang diberikan padanya. Jika ia ketahuan pergi ke sana lagi.

"Terus Thaf. Terus buat dia lalai Althaf!" seru Alif.

"Njir, gue kalah lagi. Gara-gara lo sih Thaf."

Revan menendang kakinya Althaf geram. Althaf terkikik geli. Setidaknya ia memiliki mereka. Meskipun kesal namun merekalah yang selalu membuat ia tertawa. Jika mereka tidak ada Althaf yakin kalau dirinya akan selalu diselimuti oleh rasa kesepian. Rasa yang bahkan bisa merenggutnya dalam hening.

"Kalo kalian lapar ambil aja makanan di kulkas." Althaf memberitahu dua temannya.

Revan dan Alif membalas secara serempak, "Itu pasti."

"Kalian nginap di sini, kan?"

Revan dan Alif saling bertukar pandang. Lalu detik berikutnya keduanya mengangguk secara bersamaan.

"Gue gak bawa seragam sekolah tapi." Alif menatap Althaf.

"Pake punya gue boleh juga. Atau enggak kalian pulang subuh-subuh deh besok."

"Oke, deh. Oh ya gue tidurnya sama lo, kan? Sekasur? Sebantal?" Revan tersenyum nakal.

"Enak aja. Lo kira gue gay? Rumah gue banyak kamar kosong kok. Jadi elo tidur sama setan aja." Althaf menolak Revan.

"Jangan deh. Nanti setannya gak perawan lagi gegara dia," timpal Alif tak beradab.

"Anjir, temen goblok ples jamet. Dasar manusia!"

***

Hujan. Kali ini terdengar layaknya alunan musik ballad yang diputar di telinganya Amira.

Setiap hujan ingatannya tentang seseorang itu selalu berputar. Wajahnya yang berseri-seri ketika sedang senang membuat Amira tersenyum kala mengingatnya. Tangannya membuka sebuah album foto bewarna hitam itu.

Meskipun Amira sangat merindu, tetap saja orang itu tidak akan pernah muncul lagi. Ingin sekali ia memeluk orang itu, sebuah kemustahilan.

"Amira kangen, Kak. Karena kita gak bisa ketemu lagi di dunia nyata, ayo bertemu dalam mimpi. Untuk malam ini saja."

***
Halo semua! Part ini pendek banget kan?

Untuk part selanjutnya bakalan usahin agar lebih panjang deh.

See You....

By Warda

AMIRALTHAF [Completed]Where stories live. Discover now