DELAPAN. Don't Cry.

16.7K 994 8
                                    

Kakinya terus berlari, mengejar sosok yang berjalan cepat mendahuluinya. Amira tidak mungkin salah lihat. Gadis jangkung yang membelakanginya itu pasti kakaknya, Fadia.

"Tunggu!" pekiknya dengan napas yang terangah-angah.

Orang itu berbalik. Mata Amira membulat sempurna. Wajahnya, senyumnya, sorot matanya, Amira yakin jika ia tidak salah. Sosok itulah yang selama ini sangat dirindukannya.

"Kak Fadia," lirihnya seraya berjalan mendekat. Namun gadis itu yang faktanya adalah kakaknya Amira, menggeleng kala Amira semakin mendekat.

"Berhenti, tetap di situ. Jangan sedikitpun mendekat!"

Amira menghentikan langkahnya. Tatapannya lurus ke depan, tak teralihkan dari wajah kakaknya yang sangat-sangat ia rindukan. Ia ingin memeluknya, namun mengapa kakaknya itu malah menghentikannya agar tidak mendekat?

"Kak, Amira kangen," ujar Amira.

"Kakak juga rindu kamu, Amira. Ada yang ingin kakak sampaikan sama kamu." Raut kesedihan terpancar jelas dari wajahnya Fadia.

"Tell me."

"Kakak ingin kamu hati-hati, dan  tidak mudah percaya pada semua cowok. Kamu enggak tahu hal terselubung apa yang disembunyikannya. Namun, ingatlah tidak semua cowok itu buruk. Carilah  yang benar-benar menyayangimu. Kakak gak mau kalau kamu juga berakhir seperti kakak." Fadia mengulas senyum pada Amira yang langsung dibalas oleh adiknya itu.

Tiiiiiittt!!!!

Hingga suara klakson menyadarkan Amira jika sekarang ia berada di atas trotoar. Dan kakaknya berdiri di tengah jalan raya yang sepi itu. Namun, jalan sepi bukan berarti tidak ada kendaraan yang melintas.

Fadia masih tersenyum ke arahnya. Sebuah mobil melaju cepat. Alih-alih menepi, Fadia seolah-olah tidak menyadari kehadiran kendaraan roda empat tersebut.

Ia ingin mendorong Fadia menepi. Namun, entah mengapa kakinya sulit digerakkan.

BRAKK!!

Fadia terbanting ke tengah jalan dengan kepalanya yang kini bersimbah darah.

"Kak Fadia!" pekik Amira lantang.

Dan Amira terbangun. Ternyata hanya mimpi. Napasnya terengah, jantungnya berdegup cepat. Wajahnya menjadi pucat pasi.

Mimpi itu lagi. Diliriknya jam di nakas yang menunjukkan pukul 02.56 dini hari. Entah mengapa suhu kamarnya menjadi panas, padahal air conditioner-nya hidup. Mereka juga berada di daerah pegunungan. Amira meneguk salivanya kasar seraya mengedarkan pandangannya ke seluruh kamar. Kerongkongannya menjadi kering. Ia pun bergegas ke dapur.

Kerongkongannya jadi lebih enak setelah membasahinya dengan air putih. Kala menaruh gelas di meja, ia kembali mengingat mimpinya barusan. Tangannya mengcekram gelas itu kuat-kuat. Ia tidak kuasa menahan tangisannya. Sejak bangun tadi ia mencoba mengusir tentang mimpi itu untuk tidak beterbangan di kepalanya. Akan tetapi untuk sekarang ia tidak bisa menahannya.

"Hiks, kangen, Kak."

Sebisa mungkin ia memelankan suara isakannya agar tidak didengar oleh siapa pun penghuni Villa ini. Karena ia tidak ingin menjelaskan mengapa ia bersedih.

"Lo kenapa?"

Amira mendongak kala mendengarkan suara seruan itu. Cepat-cepat ia menyeka air matanya agar tidak dilihat Althaf. Untuk saat ini ia tidak ingin mendengarkan cibiran dari Althaf.

"Gak papa, kok."

Sial. Suaranya parau. Meskipun ia berbohong, hanya orang bodoh saja yang akan percaya. Tapi, Althaf tidak pintar juga.

AMIRALTHAF [Completed]Where stories live. Discover now