DUAPULUH EMPAT. Hukuman

10.5K 548 1
                                    

Sekarang di sinilah mereka berada. Di ruang yang memang sudah langganan untuk Althaf mengunjunginya. Namun, tidak untuk Amira dan Arga, ini pertama kalinya mereka masuk ke ruang itu yang tak lain adalah ruang BK.

Pak Beni, guru yang terkenal killer itu membenarkan letak kacamatanya yang miring. Menceramahi Althaf, Amira, dan Arga panjang lebar.

Pria paruh baya itu paling jengah pada Althaf, siswa yang paling rutin berkunjung ke sana karena pelanggaran yang sering dilakukan.

Sebenarnya Althaf tidak fokus mendengarkan ceramahan dari Pak Beni. Toh, dianya sudah hafal apa yang akan dilontarkan pria tua itu. Hukuman, nasihat dan berbagai macam tindak yang dilakukan Pak Beni tidak cukup ampuh untuk melunakkan Althaf. Matanya Althaf lebih terfokus pada lubang hidung Pak Beni yang memang pesek itu.

Senyumnya tertahan, sedari tadi matanya terus melihat lubang hidung Pak Beni. Cowok tampan itu berniat menghitung jumlah bulu hidung Pak Beni. Ada yang tertarik untuk ikutan?

"Kapan kamu berubah Althaf?" Pak Beni mengembuskan napas beratnya.

"Bapak sudah bertanya itu tiga kali. Dalam jam yang sama." Althaf melirik sekilas jam tangannya lalu menyeringai.

"Kamu harus ganti kaca jendela UKS," ucap pak Beni lagi.

"Okay, of course, Sir! Pasti saya ganti. Lagian kaca jendela itu gak mahal-mahal amat."

"Selain itu, saya akan lapor pada orangtua kamu. Saya capek sama tingkah kamu!" ancam pak Beni.

Untuk itu, setidaknya sedikit ampuh untuk mengancam Althaf. Karena cowok itu tidak mau home schooling, seperti yang dikatakan ibunya, jika ada laporan lagi dari pihak sekolah, kedua orang tuanya tidak segan-segan mengeluarkan Althaf dari sekolah itu sekalipun sekolah itu merekalah yang empunya.

"Pak, jangan dong, Pak! Jangan lapor. Saya akan jadi siswa teladan as soon as possible."

"Bagus. Saya pegang kata-kata kamu. Tapi, sekarang ..." Pak Beni menggantung ucapannya sembari menatap Amira, Althaf, dan Arga bergantian. "Kalian dihukum."

Amira dan Arga mendelik. Sedangkan Althaf sudah terbiasa dengan itu. Jadi ia tidak memasang wajah berlebihan, hanya bermuka datar.

"Kalian lari mengitari lapangan basket lima belas putaran."

Lima belas putaran? Apa Amira sanggup? Ia masih kurang sehat bagaimana ini?

"Pak, Amira lagi kurang sehat. Lagian dia juga enggak salah." Althaf tidak apa-apa jika ia dihukum, tetapi ia tidak mau Amira juga dihukum. Karena ini semua kesalahannya.

"Benar tuh, Pak. Amira jangan dihukum.'' Arga menyetujui pendapat Althaf. "Saya juga gak bersalah, jadi cukup Althaf saja yang dihukum."

Althaf berdecak sebal mendengar kalimat terakhir dari Arga. Pembelaan yang terselubung. "Arga juga bersalah. Dia bahkan lebih bersalah."

"Enggak, Pak. Dia yang salah." Arga mengelak seolah-olah yang patut disalahkan hanya Althaf.

"Cukup!" tegas pak Beni yang membuat Arga dan Althaf sontak bungkam.

"Amira, kamu cukup berdiri hormat di dekat tiang bendera di lapangan upacara sampai jam pulang. Dan kalian," pak Beni menatap Althaf dan Arga bergantian. "Setelah menyelesaikan lima belas putaran, kalian nyusul Amira di lapangan upacara."

"Tapi Pak, Amira jangan dihukum! Biar saya aja yang dihukum. Biar saya aja yang gantiin dia. Saya bakalan putar tiga puluh kali gimana?" tawar Althaf mengkhawatirkan Amira. "Dan Amiranya istirahat aja di UKS. Gimana Pak?"

AMIRALTHAF [Completed]Where stories live. Discover now