TIGAPULUH TUJUH. Mencoba.

8.1K 473 11
                                    

Hari ini, hari pertama ujian kenaikan kelas. Amira sudah belajar jauh-jauh hari agar mendapatkan nilai yang memuaskan. Berbanding balik dengan Althaf, cowok itu tidak terlalu memikirkannya karena mau belajar atau tidak ia yakin kalau ia akan naik kelas meskipun nilainya terendah di kelas. Toh, dia bisa menggunakan kekuasaan ayahnya untuk itu.

Matematika, ujian pertama hari ini. Semua siswa-siswi di kelas mengerjakannya dengan serius. Namun, Althaf malah tertidur. Berkali-kali Pak Beni menegurnya, tapi itu tak mempan untuk. Hingga waktu tersisa dua puluh menit lagi, kertas jawaban Althaf masih kosong.

"Althaf!" seru pak Beni berniat membangunkan cowok itu.

Dengan malasnya, Althaf mengangkat wajahnya. Lalu duduk dengan tegak.

"Apaan sih Pak? Ribut!"

"Waktu tinggal dua puluh menit lagi, kapan kamu mau ngerjainnya?"

"Iya, mau ngerjain nih Pak." Althaf memalingkan wajahnya ke arah Alif yang fokus pada soal-soal di atas mejanya. "Alif, bagi-bagi dong jawabannya."

"Saya gak suruh kamu nyontek Althaf. Kamu itu calon penerus bangsa ini. Masa sih ka-"

"Saya tau Pak, gak usah dijelasin." Althaf menyela ucapan Pak Beni.

Cowok bertubuh atletis itu bangkit berdiri. Lalu mengumpulkan kertas jawabannya yang masih kosong itu di meja.

"Karena saya calon penerus bangsa ini, tak masalah kalo saya gak ikut ujian. Bukan begitu, Pak? Saya punya orang dalam di sekolah ini."

Kelas menjadi benar-benar hening mendengar kalimat itu keluar dari mulut Althaf. Cowok itu memandang Amira yang juga mengarahkan pandangan padanya beberapa detik, lalu terbitlah senyum mengejek di wajahnya.

Keterlaluan. Sikap keras kepalanya Althaf nongol lagi. Tidak suka, Amira benar-benar tidak suka dengan sifat Althaf yang seperti itu.

"Althaf kamu--"

"Udah deh, Pak. Saya mau keluar." Lagi, Althaf menyela ucapan Pak Beni. Usai itu, berlalu pergi ke luar kelas.

"Sikap Althaf barusan tidak patut dicontohkan. Kalian semua gak boleh kayak dia. Mau jadi apa bangsa ini kalau kebanyakan penerusnya seperti itu? Tidak sopan, malas belajar, semena-mena sama aturan. Ya sudah, cepat ngerjain lagi!" titah Pak Beni.

"Baik, Pak!" seru semua siswa-siswi yang ada di kelas itu.

Amira, ia menjadi tidak fokus. Bukan di kertas soal maupun jawabannya, arah pandangnya lurus ke ambang pintu, tempat di mana dilewati Althaf beberapa detik yang lalu.

"Ekhem." Arga berdehem, cowok yang menempati meja di barisan paling depan itu menoleh ke arah Amira.

"Waktu mau habis, gak usah bengong." Arga menyindir Amira.

Cepat tanggap, Amira langsung mengalihkan pandangannya pada kertas-kertas yang ada di atas mejanya.

Pandangannya memang tertuju pada soal-soal itu, akan tetapi pikirannya sedang beterbangan saat ini, ke luar sana tepatnya. Memikirkan ke mana Althaf pergi. Kenapa cowok itu semakin keras kepala?

Amira menggeleng-gelengkan kepalanya, mencoba untuk menepis cowok itu dari pikirannya walau sebentar saja.

Sial. Ia tidak bisa fokus lagi.

***

Setelah menjalani ujian seminggu lebih, maka tibalah banyak kegiatan di sekolah. Dan hari ini tepatnya kelas Amira bertanding basket. Tribune penonton dipenuhi oleh siswa-siswi. Amira duduk di tribune paling bawah dan paling dekat dengan lapangan. Menatap sekilas ke arah Althaf yang ikut bertanding.

Kala Althaf mencetak skor, terdengarlah suara siswi-siswi yang riuh. Maklum, cowok most wanted di sekolah.

Skor diungguli oleh team-nya Althaf. Dan pertandingan untuk hari ini berakhir. Untuk team basket siswi akan bertanding besok.

Di depan Amira, Althaf berdiri dengan seorang siswi yang memberi minum padanya. Sengaja, Althaf mengacak-acak rambut siswi itu setelah matanya bertemu pandang dengan Amira. Hal itu, membuat siswi-siswi yang melihatnya menjadi semakin ribut. Iri dengan siswi itu.

Tak tahan lagi, dengan adegan di hadapannya, Amira memilih pergi dari tempat itu. Meninggalkan ketiga temannya yang langsung paham mengapa Amira berlalu pergi.

Kosong, tak ada seorang siswa atau siswi pun di kelasnya. Bersyukur dengan itu, ia memang ingin sendiri saat ini. Sesak, melihat Althaf bersama cewek lain. Rasanya air matanya hendak menerobos ke luar. Sebisa mungkin ia menahannya, karena jika ada yang melihatnya ia sama sekali sedang tak ingin menjelaskan mengapa ia menangis. Ia tak mau dianggap cengeng.

Amira duduk di atas mejanya. Tak lama, Arga mengambil tempat di sebelahnya.

"Lo kenapa?" Arga bertanya, padahal ia sudah tahu jawabannya. Pasti karena Althaf.

"Gak papa, kok." Amira tersenyum, berusaha menyembunyikannya dari Arga.

"Karena Althaf, seharusnya lo jawab kayak gitu. Gue tau, lo lagi mikirin Althaf. Lo cemburu, kan? Lihat Althaf sama cewek lain," tebak Arga.

Amira mengembuskan napas pelan, mengangkat wajahnya ke atas. Mencoba menaikkan air matanya agar tidak terjatuh. Menoleh ke arah Arga setelah memastikan tak ada tanda-tanda ia akan menangis dari sorot matanya.

Arga tersenyum getir. Sejauh Amira menyembunyikannya, tetap saja Arga mengetahuinya. Amira tidak pintar menyembunyikan sesuatu.

"Yang akan jadi tunangan lo itu gue, yang ada di sisi lo sekarang itu juga gue. Tapi, yang ada di pikiran lo itu orang lain. Menurut lo itu adil gak?"

Untuk pertama kalinya, Amira mendapati tatapan Arga berubah sendu.

"Kapan lo akan lupain Althaf?" Suara Arga naik beberapa oktaf. "Gue bodoh, ngemis cinta lo yang gak bakalan pernah jatuh kepada gue."

"Gak semudah itu, Ga."

Arga beranjak dari tempatnya. Hendak meninggalkan Amira di sana sendiri. Menurutnya tidak ada lagi yang perlu ia bicarakan dengan cewek itu.

Rentangan tangan juga berdirinya Amira di hadapan Arga sebagai penghenti langkah Arga selanjutnya. Amira menurunkan tangannya. Agak ragu-ragu, namun pada akhirnya kalimat itu akan keluar dari mulutnya Amira.

"Baiklah, gue akan coba buat suka sama lo." Suara Amira menggema di ruang kelasnya.

Membuat langkah seseorang di belakangnya, tepatnya di ambang pintu terdiam membeku. Seseorang yang baru saja datang itu tanpa sepengetahuannya, seseorang yang masih memiliki cinta dari Amira. Siapa lagi kalau bukan Althaf.

Arga tersenyum, apalagi kala Amira semakin mendekat ke arahnya. Menyadari kehadiran Althaf di ambang pintu, Arga mengambil langkah untuk memeluk Amira. Tepat di hadapan Althaf. Pelukan itu sama sekali tidak ada penolakan dari Amira.

Althaf tersenyum kecut melihatnya. Ia tahu, ini setimpal dengan apa yang ia lakukan beberapa menit yang lalu di lapangan basket. Daripada menambah sakit hatinya, lebih baik ia pergi saja. Jujur saja, ia iri.

Kenapa tidak ia saja yang ada di posisi Arga? Kenapa tidak ia saja yang akan menjadi tunangannya Amira? Dia merutuki dirinya karena menjadi adik Yafiq, si berengsek itu.

***
TBC

Tinggalkan jejak.
Maaf atas segala kekurangannya.
Baca juga It's Me oke?

Borahae 💜
By Warda
22/09/2018

AMIRALTHAF [Completed]Where stories live. Discover now