DUAPULUH DELAPAN. Tunangan?

10.2K 499 0
                                    

Amira POV

Sore ini bundaku terlihat lebih sibuk daripada sore yang lalu. Ia memasak lebih banyak, katanya sih nanti malam kami akan kedatangan tamu penting.

Aku tidak tahu saberapa pentingkah tamu itu sehingga Bunda memasak banyak, yang pasti masakannya itu enak. Setahuku mereka ingin membahas hal penting.

Aku turut membantu bundaku. Jika bukan aku emangnya siapa lagi? Rumah kami tidak ada pembantu. Terus aku tidak punya saudara kandung. Kecuali kak Fadia, saudariku yang sudah tenang di sisi Tuhan. Seandainya kak Fadia masih hidup, pasti rumahku lebih ramai. Pasti aku jarang kesepian.

Jika ia masih hidup, apakah aku akan sering berantem bersamanya? Seperti kakak beradik lainnya yang jarang akur, namun saling menyayangi. Ataukah, aku bisa ke mall bareng dia, membeli baju couple, jalan-jalan, belajar masak bersama Bunda, dan lain halnya yang ingin aku lakukan.

Namun, kenyataan seakan menghempasku dengan keras. Sesak, rindu, ingin menangis, dan berbagai macam rasa lain yang telah bercampur aduk. Karena impianku untuk bersama Kak Fadia hanyalah khayalan atau sekadar mimpi. Kenyataan tak akan lagi mempernyata mimpiku. Karena siapapun yang telah kembali ke sisi Tuhan tak akan bisa kembali lagi kemari.

"Amira ambilin cabenya bentar," pintaan bundaku menyadarkanku dari lamunan ini.

"Ah iya, Bun." Aku langsung saja melakukan apa yang dipinta bundaku. Setelah itu melanjutkan acara memotong wortel untuk sup yang tadinya tertunda akibat lamunanku.

"Sibuk ngelamun dari tadi, kalau kesurupan gimana?"

Aku terkekeh mendengarnya dari bundaku. Kalau aku kesurupan, panggilin ustad Althaf saja. Dijamin aku bakalan lama nyadar. Toh, ustadnya cuma bisa godain aku saja. Apa Althaf jago ngaji, ya? Dari penampilannya agak diragukan. Tapi, tidak boleh memandang seseorang dari tampilannya.

Jika dia benar-benar gak bisa. Setelah aku resmi menjadi istrinya suatu hari, aku akan mengajarinya mengaji.

Seseorang melambaikan tangannya di depan wajahku. Lagi. Aku melamun. Sekarang ayahku yang baru pulang dari kantor membuyarkan lamunanku.

"Jangan bengong."

"Ah, iya."

Ayahku pulang lebih awal hari ini. Sepertinya tamu kami malam ini sangat penting.

Emangnya siapa sih yang akan datang?

***

Aku mematut diriku di depan cermin. Baju yang bundaku beri padaku terlihat pas di badanku. Tetapi aku agak risi memakainya. Because aku jarang mengenakan pakaian seperti ini yang jelas-jelas aku tak tahu cara mendeskripsikan seperti apa pakaian ini pada kalian. Aku memang kurang cakap dalam fashion. Sebab selalu mengenakan pakaian yang simple dan itu lebih nyaman bagiku.

Wajahku juga sering apa adanya, jarang dipoles make up.


Setiap harinya aku hanya memakai bedak bayi. Hm, aku tahu, di luar sana juga ada yang sama sepertiku.

Jika dilihat dari segi wajahku yang selalu apa adanya ini, bagaimana bisa ya Althaf menyukaiku. Kalau suatu hari aku menjadi istrinya Althaf, seperti apa ya wajah anak-anak kami? Aku jadi ingin tahu.

AMIRALTHAF [Completed]Where stories live. Discover now