SEMBILAN. Kurang peka.

16.3K 1K 2
                                    

Bu Aisyah—wanita paruh baya yang bekerja sebagai petani di kebun teh. Amira dan Althaf mengangkat film dokumenter tentangnya.

Dimana ia setiap hari membanting tulang untuk menafkahi keluarganya. Jika saja suaminya tidak lumpuh, mungkin ia tidak akan terlalu bekerja keras seperti ini. Semua beban terpikul padanya, tiga anaknya juga masih bersekolah. Anak pertama masih kelas delapan SMP, dan keduanya lagi sama-sama SD, kelas satu dan tiga.

Hari ini mereka akan menshoot, mulai dari mewawancarai Bu Aisyah, perjalanannya menuju kebun teh, interaksinya dengan keluarga dan para petani lainnya. Dan berbagai hal yang menurut mereka perlu, berpatokan pada treatment yang telah mereka buat. Film ini harus berdasarkan kisah nyata kehidupan tokoh, jika tidak bukanlah dokumenter namanya.

Mata Amira melirik jam tangan yang melilit di pergelangan tangannya, menunjukkan pukul 5.08PM. Althaf masih sibuk mengambil beberapa video petani yang sedang memetik daun teh. Sekaligus beberapa video yang bisa digunakan sebagai transisi.

Mata Amira beradu dengan manik seorang anak kecil yang terduduk di akar pohon yang tumbuh membesar dan menonjol keluar permukaan tanah. Cewek itu menyunggingkan senyumnya. Berjalan menghampiri anak kecil itu yang diketahuinya adalah anaknya Bu Aisyah.

"Kamu lagi ngapain, Dek?" Amira tersenyum ramah pada anak perempuan yang kira-kira umurnya enam tahun.

Bukannya menjawab, anak kecil itu malah menatapnya takut. Amira tertawa dibuatnya.

"Kamu takut sama Kakak, ya? Jangan takut. Kenalin, nama Kakak Amira." Amira mengulurkan tangannya. "Nama kamu siapa?"

"Sel-Selfia," jawab anak kecil itu malu-malu dan tidak takut lagi seraya membalas jabatan tangan Amira.

"Oh, Selfia. Nama yang bagus." Amira mengelus puncak kepala Selfia.

Tanpa ia ketahui, diam-diam Althaf memotretnya yang sedang mengelus Selfia. Senyuman tercetak di wajah Althaf.

"Ayo pulang!" seru Althaf menghampiri Amira.

"Udah selesai?"

Althaf mengangguk cepat.

"Selfia, Kakak pulang dulu, ya? Sampai jumpa."

"Iya, Kak. Hati-hati. Jangan sampai Kakak itu jahatin Kakak, ya?" Selfia mengarahkan tangan telunjuknya ke arah Althaf.

Keduanya saling tukar pandang. "Hei! Kok anak kecil ngomongnya gitu. Mana mungkin gue jahatin dia. Secara gue kan say--"

Belum habis Althaf berbicara, namun Amira lebih dulu memotongnya. "Udah, good bye Selfia. Jangan dengerin Kakak ini ngomong."

Amira meninggalkan Selfia seraya mengcekram kuat lengannya Althaf.

"Althaf kok lo ngomongnya kayak gitu sama anak kecil?"

"Ya, kan gue kesel. Tuh anak ngatain gue jahat."

Amira memutar bola matanya malas. "Tapi dia kan, anak kecil, Althaf. Lo itu udah gede."

Tidak ada respon. Althaf memilih mengabaikannya. Malas, selalu dinasihati ataukah dimarahi. Hingga keheningan menyelimuti keduanya.

"Tipe cowok yang lo suka kayak mana?" Althaf mengudarakan beberapa pertanyaan untuk memecahkan keheningan yang membuatnya tidak nyaman.

Sebenarnya sudah lama ia ingin menanyakan itu. Namun selalu ia urungkan. Dan kini rasa penasarannya harus terbayar. Karena selama ia mengenal Amira, ia merasa kalau cewek itu tidak pernah pacaran ataukah sekedar info orang yang disukainya.

"Kepo lo."

Sial. Padahal ia ingin sekali tahu itu. Kalau ia termasuk dalam kriterianya Amira, itukan sebuah keberuntungan. Atau lebih tepatnya sebuah kesempatan untuk membuat cewek itu jatuh hati padanya.

AMIRALTHAF [Completed]Where stories live. Discover now