EPILOG

14.8K 621 37
                                    

Matahari bersinar dengan cerah pagi ini. Begitupun suasana hati Amira saat ini. Puncaknya semalam, kala ayahnya luluh dengan keberanian dan ketulusan Althaf. Intinya, Amira dan Althaf sudah direstui meskipun belum direstui dalam kata pacaran. Emang pada dasarnya Amira tidak diizinkan pacaran oleh ayahnya. Namun, sudah diizinkan berteman dengan Althaf saja ia sudah senang.

Karena jodoh itu sudah diatur oleh sang Pencipta. Kita tidak tahu kan? Bisa jadi jodoh kita itu teman kita sendiri.

Amira dari tadi senyam-senyum sendiri disela sarapannya. Hal itu membuat ibunya terheran-heran dengan putri kesayangannya itu.

"Kamu kenapa sih senyum-senyum sendiri?" tanya Hera.

"Ayah di mana, Bunda?"

Alih-alih menjawab, Amira malah bertanya kembali pada ibunya. Terus, pertanyaan seperti pengalihan.

Hera geleng-geleng kepala. "Gak usah ngalihin pertanyaan Bunda. Kamu pasti mikirin Nak Althaf, kan?" tebak ibunya itu tepat sasaran.

Amira tersenyum menampakkan deretan gigi putihnya sebagai jawaban bahwa tebakan ibunya tak melenceng sedikit pun. Semangatnya terlalu menggebu-gebu. Ia ingin sekali bertemu dengan Althaf sekarang.

"Ayah udah berangkat ke kantor sejak tadi." Hera menjawab pertanyaan Amira tadi. Lalu tersenyum ke arahnya. Melihat putrinya tersenyum bahagia, membuatnya ikut bahagia. Padahal putrinya itu kurang sehat.

"Kamu masih demam lho. Yakin mau ke sekolah?" Ibunya berubah khawatir.

Amira mengangguk.

"Gak papa kok, Bun. Amira gak demam lagi," jawab Amira semangat walaupun tubuhnya agak hangat. Ya, semalam, tepatnya pada tengah malam ia demam. Namun, pagi ini demamnya sudah menurun.

"Kalo masih sakit gak usah dipaksain. Jaga kesehatan itu penting." Hera memperingati.

"Bunda," ucap Amira dengan suara pelan. "Amira kan udah kelas dua belas. Jadi, Amira harus rajin ke sekolah." Amira beralasan, toh dianya gak sabaran buat ketemu Althaf.

Hera menggeleng-gelengkan kepala. "Gak usah beralasan Amira. Bunda tau, kamu pasti mau ketemu sama Nak Althaf."

Amira bungkam. Ia tak bisa mengelak lagi. Pada akhirnya dengan wajah tertunduk ia menganggukkan kepalanya.

"Kalau gitu kamu gak usah ke sekolah hari ini," ucap Hera santai. "Kalau kamu ke sekolah cuma buat ketemu Nak Althaf, gak usah sekolah lagi aja sekalian."

Amira mengernyitkan keningnya. "Loh? Kenapa gak usah, Bunda?"

Sebelum menjawab pertanyaan dari putrinya, wanita itu menenggak air putih dari gelasnya terlebih dahulu.

"Kalian langsung nikah aja."

Amira mendelik. "Menikah?"

Ibunya tersenyum. "Wajah kamu gak perlu terkejut kayak gitu. Bunda cuma bercanda, kok. Udah, cepat! Nanti kamu telat ke sekolah."

Sekarang wajah Amira berubah menjadi datar. Setelah tadinya terkejut dengan ucapan ibunya yang ternyata hanyalah candaan semata. Nah kan, sangat tidak baik. Ia malah terdiam di tempat duduknya. Tentu saja otaknya tidak diam. Karena otaknya sibuk memutar bayangan kala ia menikah dengan Althaf.

"Amira."

Bak pahlawan. Suara Hera menariknya dari angan-angan yang akan berkelanjutan jika diteruskan tanpa ada yang mengacaukannya. Karena ia harus berangkat ke sekolah.

"Ah iya, Bun."

***

Amira berangkat ke sekolah naik angkot. Naomi yang sering menjemputnya tak akan hadir ke sekolah hari ini karena ada suatu halangan. Dan itu bukan masalah bagi Amira selama ada angkutan umum yang bersedia mengantarkannya ke sekolah.

AMIRALTHAF [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang