TIGAPULUH TIGA. Pilihan.

8K 473 3
                                    

Mereka memang berpacaran. Fadia mencintai Yafiq, namun Yafiq tidak mencintai Fadia. Malam itu, cowok itu mengutarakan semuanya bahwa ia berbohong dengan mengatakan mencintai cewek itu selama ini.

Sakit, bak ditikam belati yang begitu tajam, seperti itulah yang dirasakan Fadia kala itu. Yafiq yang tidak ingin menjelaskan apa pun lagi malah melenggang pergi meninggalkan cewek yang tidak pernah ia cintai itu. Fadia tidak tinggal diam, ia mengejar mobil Yafiq yang keluar dari perkarangan rumahnya.

Berlari sekuat tenaga pun akan tetap kalah dengan lajunya mobil yang dikendarai Yafiq. Hujan yang turun seolah memperlihatkan seberapa menyedihkannya malam itu. Fadia, berhenti berlari kala mengetahui ibunya sedang mengejarnya. Tapi, ia melupakan fakta jika ia berada di tengah jalan yang tentunya dilalui oleh kendaraan. Sebuah mobil melaju dengan cepat menabrak tubuhnya. Saat itu pula ia berada di ambang kematian. Malam itu, ia telah kembali ke sisi Tuhan.

Itu adalah fakta di masa lalu. Dan sekarang Althaf tahu semuanya.

Ia tahu siapa dirinya. Ia tahu bahwa dirinya hanyalah adik dari pria brengsek itu. Ia adik Yafiq, laki-laki yang berbohong pada kakaknya Amira, Fadia.

Althaf malu, bagaimana tidak? Orang tua Amira saja sangat membenci Yafiq. Begitu tahu bahwa Althaf adalah adik kandungnya Yafiq, akan sulit untuk mendapat restu dari ayahnya Amira. Sekarang, ditambah dirinya yang akan dibenci oleh orangtuanya Amira.

Althaf mencintai Amira. Lalu, harus bagaimanakah dengan perasaannya ini? Apakah ia harus melupakannya?

Ia malu menjadi adiknya Yafiq.

Dengan amarah yang meluap-luap, Althaf melangkahkan kakinya menuju kamar Yafiq. Meskipun Yafiq tidak ada di sana, tetapi yang ia butuhkan sekarang adalah sesuatu yang akan menjadi objek untuk menyalurkan emosinya.

Kamar Yafiq yang tadinya rapi kini terlihat seperti kapal pecah. Semua benda yang ada di sana berserakan. Bahkan ada yang diinjak-injak oleh cowok yang tengah dikuasai amarah itu.

Plakk!

Tamparan tiba-tiba mendarat di wajah rupawan Althaf, mampu menghentikan aksi cowok itu. Sembari memegangi wajahnya yang barusan ditampar, ia tersenyum getir ke arah orang yang menamparnya yang tak lain adalah ayahnya.

Kenzie Adiwangsa—ayahnya Althaf—menatap putranya itu tajam. "Ayah gak suka kamu banyak tingkah seperti ini. Kalo kamu terus jadi perusak seperti ini, ayah akan mengirimmu ke luar negeri."

Seolah tidak mempan dengan ancaman itu, Althaf malah memasang wajah datarnya.

"Gue gak takut, mau lo ngirim gue ke luar negeri atau ke mana pun. Gue gak peduli!" balas Althaf kesal.

Tidak sopan, perkataan cowok itu memang tidak patut dicontohkan. Apalagi sekarang ia berbicara dengan ayahnya sendiri. Ia tahu jika ia sudah keterlaluan. Oleh sebab itu, ia melenggang pergi menuju kamarnya. Jika terus berada di sana, ia yakin sekali jika dirinya akan menjadi anak yang benar-benar brengsek malam ini.

Althaf menghempaskan tubuhnya dengan kasar ke kasur empuknya. Matanya memandang kosong ke arah langit-langit kamarnya.

"Lo kenapa?" sergah Yuri yang mendadak muncul di ambang pintu.

Bola mata Althaf tak juga beralih dari langit-langit kamar. Hingga Yuri duduk di tepi kasurnya.

"Kalo punya masalah cerita. Gak usah dipendam kayak gitu."

"Bodo amat. Siapa peduli?"

"Thaf, gue peduli sama lo. So, tell me."

Althaf terdiam beberapa detik sebelum kembali berucap, "Gak semua hal bisa gue ceritain sama lo. Dan sekarang gue lagi pengen sendiri."

Yuri memakluminya. "Ya sudah, gue gak maksa buat lo cerita. Karena gue juga pernah SMA, gue paham betul permasalahan remaja kayak lo."

Yuri bangkit berdiri, hendak beranjak dari kamar sepupunya itu.

"Oh ya, gue bakalan selalu ada saat lo butuh. Jangan lupa, lo punya gue sebagai kakak lo," pungkas Yuri sebelum menutup pintu kamarnya Althaf dan berlalu pergi.

Ia mencintai Amira. Bahkan ia sungguh-sungguh mencintai cewek itu. Di dalam ekspektasinya, ia ingin hidup bersama cewek itu sepanjang umurnya. Namun, malam ini seolah menginstruksinya untuk menyerah.

Karena Yafiq, ekspektasinya dijatuhkan.  Malu, sedih, dan juga marah. Tiga kata itu seakan bercampur aduk.

Sekarang, ia mulai menentukan pilihannya. Althaf memejamkan matanya.

Meskipun berat, ia harus melakukannya.

***

Siapa yang tidak akan sedih jika salah satu anggota keluarganya atau orang tersayangnya meninggal? Kecuali orang yang hatinya sudah benar-benar keras dan tidak mengharapkan kehadiran mereka.

Kalian pasti tahu seperti apa rasanya berpisah dengan orang yang disayangi untuk selamanya.

Hal itulah yang dirasakan oleh Amira. Bahkan sampai sekarang ia sangat merindukan Fadia, satu-satunya saudari kandung yang ia punya dan telah kembali ke sisi Tuhan. Seperti luka yang dikoyak kembali. Kala mengetahui bahwa laki-laki yang dikejar Fadia adalah Yafiq, abangnya Althaf rasanya ia ingin berteriak keras-keras. Walau pada akhirnya menangis adalah pilihannya.

Setelah Althaf pulang dari rumahnya kurang lebih setengah jam yang lalu, ia langsung berlalu ke kamarnya dan menumpahkan isakannya di sana. Setelah malam ini, ia sangat yakin kalau ayahnya akan semakin protektif terhadapnya. Dan harapan untuk bersama Althaf akan semakin jauh. Ayahnya sudah pasti tidak mengizinkannya untuk berdekatan dengan Althaf.

"Amira..." Bundanya Amira yang tiba-tiba datang duduk di dekat putrinya itu.

Amira memeluk bundanya, dan tangisannya semakin sesegukan. Amira sudah tidak peduli lagi jika sekarang ia begitu cengeng. Hera mencoba untuk menenangkan Amira..

Setelah Amira menjadi tenang dan suara tangisannya berhenti, ia melepaskan pelukan Hera. "Bunda, kenapa ini harus terjadi? Amira gak mau tunangan sama Arga."

Hera menghela napas. "Sayang, maafin Bunda sama Ayah yang udah maksa kamu buat tunangan dengan Arga. Tapi, ini demi kebaikan kamu."

"Amira gak suka Arga," jujur Amira masih dengan suara parau. "Amira suka Althaf."

"Kakakmu pasti gak suka kamu berhubungan dengan adiknya Yafiq. Emangnya kamu mau ngecewain kakakmu? Di sana ia pasti menyesal dengan apa yang ia lakukan. Jadi, Bunda gak mau itu semua terulang lagi pada kamu." Hera mengelus puncak kepala putrinya penuh kasih sayang.

Amira terdiam sejenak. Benar juga yang dikatakan bundanya.

Sekarang, ia harus membuat pilihan untuk ke depannya.

Dan ia harap, ia tidak salah dalam menentukan pilihannya itu.

***
TBC

Akhirnya saya update juga.

Btw, jangan lupa vote dan comment buat Author yang lelah baru pulang dari PKA(Pekan Kebudayaan Aceh) dan udah usahain buat nulis tengah-tengah malam kayak gini.

Walaupun yang baca cuma sedikit. *Kok malah curhat?😄

So, Author butuh komen yang positif.
.
.
Oh ya, maaf kalau ada typo.

By Wardatul Jannah
11 August 2018

AMIRALTHAF [Completed]Where stories live. Discover now