TUJUH. Diam-diam.

18K 1.1K 18
                                    

Tepat sekali ketika Althaf berkunjung ke Villa itu, pohon mangga di halaman belakang berbuah banyak. Maka dari itu, Bi Inah membuatkan rujak mangga untuk Amira.

Bi Inah memanggil Althaf kala cowok itu berjalan melewati dapur.

"Nak Althaf."

"Iya Bi. Kenapa?"

"Ini, Bibi buat rujak mangga. Ajak Amira makan." Bi Inah menyodorkan semangkuk rujak pada Althaf.

"Oke, Bi." Althaf mengambil mangkuk yang disodorkan oleh Bi Inah kepadanya. "Oh ya, Bi. Panggilin Amira bentar. Bilang sama dia kalo saya tungguin dia di bawah pohon mangga belakang."

"Oke," balas Bi Inah seraya mengangkat tangannya, memberi gesture penghormatan layaknya sedang upacara bendera. Althaf tertawa kecil karenanya.

Cowok bertubuh Atletis itu berjalan ke arah sebuah bangku kayu yang di potong membujur di bawah pohon mangga yang tingginya kira-kira enam meter itu. Ia menjatuhkan tubuhnya pada bangku tersebut. Kepalanya mengadah ke atas, dilihatnya pohon itu berbuah banyak. Angin sepoi-sepoi menyapu wajahnya. Membuat tatanan rambutnya bergerak akibat angin.

Althaf sedikit cemas, harap-harap buah mangga itu tidak terjatuh mengenai kepalanya itu.
Cowok itu mendongak lagi, lalu menunjuk-nunjuk salah satu buah mangga layaknya sedang memarahinya.

"Awas lo kalo jatuh di kepala gue dan bikin gue lupa ingatan. Gue bakalan gigit lo," ngawur Althaf layaknya orang gila yang tengah berbicara dengan mangga.

Althaf melirik kemudian memasukkan sesendok rujak itu ke mulutnya.

"Enak."

Ia tersenyum lalu memasukkan lagi sesendok rujak itu ke mulutnya.

Sementara itu, Bi Inah mengetuk pintu kamar Amira seraya berseru memanggil nama cewek itu. Sahutan terdengar, menyuruhnya untuk terus masuk. Cewek itu tengah menyisir rambutnya di hadapan sebuah kaca atau cermin persegi yang tidak terlalu besar.

Setelah pulang meriset, Amira beristirahat sejenak. Tidak lebih sepuluh menit hingga ia bergegas mandi. Sekarang ia kelihatan lebih fresh. Menyunggingkan senyum sekilas pada Bi Inah dengan tangannya yang mengikat rambutnya terguncir.

"Nak Amira dipanggilin sama pacarnya tuh. Dia nungguin di bawah pohon mangga belakang."

Pacarnya? Aduh. Mendengar kata itu entah mengapa wajahnya jadi memanas.

"Oke, Bi." Bi Inah berlalu pergi.

Amira sama sekali tidak menyangkalnya. Apa ia juga menginginkannya? Ataukah setidaknya ia mengatakan pada Bi Inah kalau mereka tidak pacaran. Membenarkan realita.

Apa ia mulai suka pada cowok itu?

Sepertinya ia, Amira tidak dapat mengelak lagi, jika rasa itu perlahan-lahan tumbuh di hatinya. Bagaikan tumbuhan yang disirami perangsang agar cepat berbunga atau tumbuh meninggi, rasa itu akan semakin tumbuh dengan cara selalu hadirnya cowok itu di sisinya. Membuat ia tersenyum, mengingatnya ketika tidur. Namun, di sisi lain ia selalu gengsi. Bisa dikatakan kegengsian telah mendominasinya saat ini. Apa yang keluar dari mulutnya tidak sama dengan isi hatinya.

Amira sempat memicingkan matanya dari kejauhan. Setelah memastikan jika itu beneran Althaf,
Amira menghampiri Althaf di bawah pohon, lalu mendudukkan dirinya di sebelah cowok itu.

"Lama banget sih," keluh Althaf. Padahal ia menunggu Amira tidak selama yang terpantul dari mimik wajahnya yang dibuat-buat kesal. "Lo mau rujak?"

Amira mengangguk, mengiyakannya.

"Buka mulut lo," titah Althaf.

Ragu-ragu cewek itu membuka mulutnya.

"Enak!" seru Amira. Tangannya terulur mengambil mangkuk itu di tangan Althaf.

AMIRALTHAF [Completed]Where stories live. Discover now