TIGAPULUH ENAM. Berjuang.

8.6K 512 7
                                    

Biasanya Amira enggan bila diajak keluar oleh Arga. Seperti ada yang menepisnya, entah mengapa malam ini ia tidak menolak ajakan cowok itu keluar.

Duduk di atas kap mobil dengan tangan memegang jagung bakar lalu sesekali ia mendongak ke atas menatap taburan bintang. Tak masalah hanya memakan jagung bakar yang dijual di pinggiran jalan. Tapi, bagi orang kaya seperti Arga apakah tidak masalah juga?

Oleh sebab itu ia bertanya, agar tidak mengganjal di pikirannya.  "Lo kan orang kaya. Gak papa makan jagung bakar di pinggiran jalan?"

Arga tergelak. Sama sekali bukan jawaban yang diinginkan Amira. Malah tergelak padahal menurutnya tidak lucu.

"Kenapa tertawa? Apanya yang lucu?"

Tatapan bingung Amira membuat wajah Arga berubah menjadi datar. "Oke, gue gak akan tertawa lagi."

"Emangnya orang kaya gak boleh makan di pinggiran jalan? Harus makan di tempat-tempat mewah?" tanya Arga yang disambut gelengan Amira.

"Gue juga manusia kali," lanjut Arga. "Dan itu terserah gue mau makan di mana."

Amira menggigit jagungnya. Keheningan mulai terisi antara dirinya dan Arga.

"Arga," desis Amira.

Tatapan Arga tertuju pada Amira. "Iya, kenapa?"

"Maaf." Amira menundukkan wajahnya.

Tatapan Arga berubah menjadi bingung lalu mengernyitkan keningnya karena tidak mengerti mengapa cewek itu meminta maaf padanya.

"Maaf? Kenapa?"

"Gue belum bisa suka sama lo." Amira membuang mukanya agar tidak bertemu pandang dengan Arga.

"Gue tau, di hati lo ada nama orang lain. Lalu, apa karena itu gue gak bisa berjuang buat lo?" Manik matanya Arga menyiratkan keseriusan.

Seperti ada tarikan, wajah Amira kembali mengarah pada Arga hingga keduanya bertemu pandang.

"Gue gak mau maksa lo buat jatuh cinta sama gue. Tapi, gue yakin perjuangan gue gak akan sia-sia. Seperti orang bilang, usaha gak akan mengkhianati hasilnya, bukan? Makanya, gue semangat buat dapetin lo."

Bingung. Cinta Arga yang sudah direstui orangtuanya atau cinta dari Althaf, orang yang dicintainya. Jika memilih Arga, itu berefek pada perasaannya yang sama sekali bukan untuk cowok itu. Ia tak akan bahagia jika keterpaksaan yang dipilihnya.

Dan kalau memilih Althaf, sama saja dengan menentang kedua orang tuanya. Tak ada restu sama sekali meskipun saling mencintai.

"Gue tau lo pasti berat hati karena mau tunangan sama gue. Lo gak cinta sama gue, lo cinta sama orang lain. Harapan gue, dengan berjalannya waktu akan ada di mana guelah yang lo cinta. Gue yakin itu." Nada bicaranya Arga menjadi lebih pelan.

Amira tampak mendengus. Apakah ini instruksi untuknya agar mencintai Arga saja?

Lidahnya kelu. Lehernya seolah tercekat dan menghalangi untuknya bersuara menimpali perkataan Arga.

Malam ini, Amira tidak ingin merusaknya. Seperti membentak Arga, menatap kesal Arga. Jujur, di matanya, Arga manis sekali malam ini. Tidak seperti biasanya yang selalu membuatnya emosian.

"Lo beneran gak mau?"

Amira mengkerutkan keningnya. "Gak mau apa?"

"Jatuh cinta sama gue."

***

Mau keringat membuat sungai atau bahkan membuat banjir di tubuhnya itu sama sekali bukan hal yang akan menghentikan Althaf meloloskan bola basket ke ring itu. Sudah berjam-jam ia bermain basket sendirian di lapangan basket rumah Alif. Tak peduli sekalipun malam akan menjadi larut.

Revan dan Alif yang berdiri di pinggir lapangan menjadi penonton setianya.

"Belum juga satu hari, tuh orang udah mutusin anak orang. Kasian tuh cewek," ucap Alif pada Revan. Sedari tadi keduanya malah asyik ngegosipin Althaf. Ternyata, para cowok jaman now udah biasa bergosip. Buktinya, Revan sama Alif.

"Teman kita juga kasian. Patah hati akut." Revan menimpali.

"Althaf, udah ganteng, banyak cewek yang ngincar, tajir pula. Tapi, kisah cintanya sangat menyedihkan." Alif mulai berargumen.

Seperti tak merasa lelah, meskipun ada kalanya berkali-kali bola itu tak masuk ke ring, Althaf tak juga berhenti untuk beristirahat sejenak. Oleh sebab itu, Alif bergerak cepat untuk merebut bola dari Althaf. Ia harus menghentikan Althaf agar sesuatu yang tidak diinginkan terjadi.

Merasa tertantang, Althaf berusaha merebut kembali bola dari Alif. Hingga bola itu beralih ke tangan Revan.

Karena tak tahan, Alif menarik kerah bajunya Althaf dengan kasar. Berhenti, tak memberontak, bungkam sesaat kala tarikan Alif di kerah bajunya juga tatapan tajam Alif menusuk matanya.

"Stop! Gue mau lo berhenti! Lo mau bunuh diri goblok?!" teriak Alif.

Tangan Althaf dengan mudahnya melepaskan tangan Alif dari kerah bajunya.

"Apaan sih, lo? Lo mau ngajak berantem?!" sengit Althaf dengan suara tak kalah kerasnya dari teriakan Alif.

"Woi! Santai kali, gak usah ngegas ngomongnya. Awas aja lo berdua kalo sampe berantem!" ancam Revan berusaha melerai dua temannya itu. Namun, malah tak diladeni. Layaknya cuma angin lewat saja.

"Gue gak suka lo kayak gini, Thaf. Cuma gara-gara satu cewek yang lo suka, lo jadi cowok lemah kayak gini. Santai aja, namanya aja hidup. Semuanya gak bakalan terus berjalan mulus. Pasti ada liku-likunya." Alif menasihati temannya itu supaya berhenti menjadi sosok yang menyedihkan seperti malam ini.

"Kalo lo ada di posisi gue, lo pasti bakalan kayak gini juga. Lo gak ngerti."

"Gue memang kagak ngerti. Tapi, gue pengen yang terbaik buat lo." Alif beranjak pergi.

Revan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Kayak nonton drama aja gue," gumam Revan.

Revan mendekat dan menepuk-nepuk bahu Althaf beberapa kali seperti menenangkan cowok itu.

"Kasian gue sama lo, Bro! Menyedihkan banget sih kisah cinta lo." Bukan menasihati atau menyemangati, namun Revan malah mencibir Althaf.

"Damn!"

Revan nyengir kuda. "Lanjutin main basketnya sono! Minta setan aja buat nemenin lo. Capek gue ngomong sama bocah keras kepala kayak lo. Dadah, gue mau tidur."

Althaf hendak menendang Revan, namun dengan cepat Revan menghindarinya. Masuk ke rumah Alif dan meninggalkan Althaf sendirian.

Althaf berdecih. Tangannya terangkat mengacak-acak rambut frustrasi.

"Sialan emang!"

***
TBC

Pendek ya?

Tinggalkan jejak ya?
Maaf atas segala kekurangannya.

By Warda
18/9/2018

AMIRALTHAF [Completed]Where stories live. Discover now