TIGAPULUH SEMBILAN. Syarat?

8.3K 462 20
                                    

Masih libur kenaikan kelas. Bahkan Amira masih kurang percaya kalau dirinya akan menjadi senior di SMA. Terus, kurang lebih setahun lagi ia akan menjadi anak kuliahan.

Untung libur, jadi Amira tidak perlu memikirkan PR seperti hari-hari sebelumnya meskipun ia juga menyisihkan waktu untuk mengulang materi di kelas sebelas.

Dengan langkah pelan Amira berjalan ke tempat parkir depan minimarket, setelah membeli beberapa cemilan yang akan menemaninya malam ini. Mata Amira membulat sesaat, lalu mengembuskan napas beratnya setelah melihat ban sepedanya bocor. Tangannya meraba-raba kantong celananya lalu menepuk jidatnya karena ia lupa membawa ponsel. Ia menjadi gundah. Meskipun rumahnya tidak terlalu jauh dari minimarket, ia tahu kakinya kurang sanggup bila harus berjalan hingga ke rumah.

Amira mengedarkan pandangannya, beberapa detik kemudian seseorang yang mengendarai motor sport bewarna biru memarkirkan kendaraan beroda dua itu di sebelah sepedanya.

Deg!

Motor itu tak asing baginya.

Benar saja. Setelah helm cowok itu terbuka, membenarkan dugaannya. Cowok itu Althaf. Amira menundukkan kepalanya kala bertemu pandang dengan Althaf.

Enggan meminta tolong pada Althaf jadi ia memilih untuk pergi sembari mendorong sepedanya. Tiba-tiba, ada sesuatu yang mengganjal. Sepedanya jadi susah didorong.

"Ban sepeda lo bocor."

Suara itu. Suara cowok yang diam-diam sangat dirindukannya. Amira berbalik, ternyata tangan kokoh milik Althaflah yang membuatnya kesusahan untuk mendorong.

"Gue tau," ketus Amira.

"Lo gak mungkin pulang jalan kaki, kan? So, biar gue anterin lo pulang," tawar Althaf yang langsung diberi gelengan oleh Amira.

"Gak usah. Lagian rumah gue deket kok," tolak Amira.

"Gue mau tolongin lo sebagai teman sekelas lo. Alasan yang tepat bukan?"

Bagaimanapun cara Althaf membujuknya tak akan mengalahkan Amira yang bersikeras menolaknya. Seolah tak terdengar, Amira malah mengabaikan Althaf. Namun itu tak berlangsung lama. Karena tangan kokoh milik Althaf dengan mudah mengambil alih sepeda itu dari Amira.

Althaf mendorong sepeda Amira ke arah motornya lalu memarkirkan sepeda itu di sebelah motornya. Pasrah, Amira mengikutinya di belakang. Hingga Althaf telah duduk kembali di motornya. Bahkan kini helm-nya ikut terpasang di kepalanya.

"Nanti sepeda lo gue bawa ke bengkel. Cepetan naik."

"Gue pulang pakek taksi aja," tolak Amira lagi yang mempertahankan gengsinya.

"Naik Amira! Rumah lo dekat, gak usah buang-buang uang cuma buat naik taksi."

"Gak papa."

"Naik!"

Suara tegas milik Althaf akhirnya meruntuhkan pertahanannya Amira.

"Baiklah."

***

Suara deru motor Althaf mengisi keheningan di antara keduanya. Ia merutuki dirinya sendiri kala saat ini jantungnya menjadi tak karuan. Ingin rasanya menetralisir debaran itu.

Bukan hanya Amira. Karena jantung Althaf pun sama.

Sama-sama berdebar.

Takut dimarahi ayahnya, Amira meminta Althaf untuk mengantarnya sampai di depan rumah tetangganya saja. Tetapi itu tidak terjadi. Seolah tertantang, Althaf malah mengantar Amira hingga di halaman depan rumah Amira.

AMIRALTHAF [Completed]Where stories live. Discover now