TIGAPULUH DELAPAN. Damn!

8.2K 461 12
                                    

Tepat di hadapannya, dua orang yang tengah dihindarinya itu berpelukan. Terus berputar-putar di otaknya. Bahkan tangannya mengeluarkan cairan kental berwarna merah akibat menyalurkan emosi dengan memukul dinding di koridor lantai dua yang sepi itu.

Bahunya merosot, dia terduduk di lantai. Menjadikan dinding sebagai tempatnya bersandar. Matanya menerawang ke depan.

Beberapa menit, ia masih bertahan dalam posisi yang seperti itu. Hingga, cewek yang ingin dihindarinya itu berada di hadapannya. Kenapa lagi-lagi mereka dipertemukan? Di tempat sepi pula. Terus, hanya mereka berdua saja di sana.

Amira melebarkan matanya, melihat tangan Althaf yang berdarah. Rasanya ingin sekali Amira mengobatinya. Namun, seperti ada pembatas yang mengadangnya untuk melakukan itu.

Tatapan sendu keduanya bertemu. Membiarkan jarak tetap membentang. Tetap pada pendirian, tak ada yang berniat memangkas jarak diantara keduanya.

"Althaf lo kenapa?" tiba-tiba suara Revan terdengar dan tak lama sudah berada dalam jarak yang sangat dekat dengan Althaf.

Sadar dengan kehadiran Amira, ia kembali membuka suara. "Kenapa kalian saling diam dan saling tatap? Sedang berkirim telepati?"

Sialan emang. Rasanya Althaf ingin memukuli wajah sok ganteng temannya itu.

Amira berlalu pergi. Setidaknya ia menjadi lega, karena ada Revan di sana.

Revan menatap iba pada Althaf. "Tangan lo kenapa?"

"Ya ampun Althaf, tangan lo kenapa?"

Lagi, tadi cowoknya, sekarang ceweknya yang datang. Siapa lagi kalau bukan Azalea?

"Sini! Biar gue obati," tawar Azalea. "Pasti sakit."

"Gak boleh, lo gak boleh obati cowok lain. Lo hanya boleh obati gue aja. Sayang, gue gak rela." Revan tak setuju dengan tawaran Azalea. Sekalipun Althaf itu temannya, tetap saja ia tidak akan rela dan setuju.

"Kasian tau."

"Tetap aja gak boleh. Lo itu cewek gue! Gak boleh dekat-dekat sama cowok lain."

Althaf menatap Revan dan Azalea bergantian. Kenapa malah berantem?

"Gak usah ngedrama di depan gue. Enyah sana!" Suara Althaf sengaja dibuat keras, juga tatapan tajamnya mampu membuat dua orang itu berhenti beradu mulut. Dongkol, sungguh Althaf amat dongkol saat ini.

Setelah menghentakkan kakinya beberapa kali di lantai beserta tatapan kesalnya pada Revan, Azalea beranjak pergi.

"Sayang, kok pergi?" Teriakan Revan diabaikan Azalea. Setelah pacarnya itu menghilang dari pandangan matanya, Revan menoleh ke arah Althaf yang menatapnya tajam.

Sedikit terkejut, lalu terbitlah cengiran di wajah Revan.

"Sengaja, kan, lo?"

Revan mengkerutkan keningnya. "Maksud lo?"

"Ngehina gue? Mentang-mentang punya pacar."

Revan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Gue gak sengaja."

Kemudian, Revan nyengir kuda.

"Damn!"

***

Berjalan dengan lemas menuju kamarnya, membuat Yuri bertanya-tanya mengapa sepupu tampannya itu seperti tidak semangat menjalani hidup.

Althaf menghempaskan pantatnya di atas kasur empuknya. Sedangkan Yuri berhasil menerobos masuk ke dalam kamar Althaf dan mengambil tempat di sebelah Althaf.

"Heh, bocah! Lo kenapa, sih? Lesu amat."

Keterbungkaman Althaf bukan jawaban yang memuaskan bagi Althaf. Sehingga Yuri mengambil bantal guling dan memukul wajah Althaf sebagai unjuk tak terima dengan bungkamnya Althaf.

Bahkan bantal guling sudah mendarat di lantai. Althaf masih bertahan dalam diamnya yang membuat Yuri berpikir bahwa ini sangat misteri.

"Lo kesurupan apa lagi PMS?"

Sama. Masih bungkam. Oleh sebab itu, Yuri mendorong Althaf hingga terbaring di kasur. Memukul perut Althaf, dan tanpa sengaja mengenai tangannya Althaf yang terperban. Althaf meringis kesakitan. Bagaimanapun kekuatan Yuri dalam memukul orang sangat menyakitkan. Althaf merasa kalau tangan Yuri terbuat dari besi.

Kesal. Althaf tidak tahu jika mendeskripsikan seberapa besar kekesalannya hari ini pada kebanyakan orang yang ditemuinya. Sungguh sangat kesal.

Yuri terbelalak, mulutnya sedikit terbuka. Sadar, salah tempat memukuli Althaf.

"Lo kenapa?" tanya Yuri cemas.

Entah ini yang keberapa orang bertanya seperti ini padanya. Althaf tak ingat.

"Lo pasti berantem, kan?"

Tidak menjawab, Althaf bangkit berdiri dan menyembunyikan tangannya ke belakang tubuhnya.

"Sini! Gue mau lihat," pinta Yuri.

"Gak boleh." Akhirnya Althaf bersuara. "Yang pasti gue gak berantem."

Yuri melipat kedua tangannya di dada. "Lo takut gue lapor sama nyokap lo? Gue tau, lo diancam home schooling kalo ketahuan berantem, kan?"

Althaf menggeleng. "Sok tau lo. Keluar gak lo dari kamar gue!" teriak Althaf dengan suara yang begitu keras.

Sangat tidak mempan. Yuri sama sekali tidak takut, walaupun Althaf dikuasai emosi saat ini.

"Lo tuli? Enyah!"

Yuri malah mendekat dan hendak menarik tangan Althaf yang terperban.


Althaf menghindar, masih menyembunyikan tangannya di belakang.

"Althaf siniin tangan lo!"

"Gak mau." Althaf bersikeras menolak. "Mau lo apain tangan gue?"

"Gak usah banyak tanya. Lo berantem, kan?"

Althaf malah berlari. Tunggu. Kenapa ia menciut di depan Yuri. Diakan cowok, harus bersikap gentleman. Bukan malah ketakutan seperti tikus yang dikejar kucing.

Akhirnya mereka saling berkejaran. Lebih tepatnya Yuri lah sang pengejar.

Althaf? Sangat merutuki dirinya sendiri. Ia benci dengan hari ini.

***

See you next part.

Mohon komen yang positif. Maaf kalo pendek. Author lagi banyak tugas sekolah.
Maaf juga atas kekurangannya.

By Warda
23/9/2018

AMIRALTHAF [Completed]Where stories live. Discover now